Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Catatan Literasi, Kenapa Daun yang Kecil Mampu Menutupi Bumi yang Luas?

Diperbarui: 18 September 2022   09:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: TBM Lentera Pustaka

Jangan Tutup Bumi yang Luas dengan Daun yang Kecil

Hai kawan, bumi itu luas daun itu kecil. Anugerah Allah SWT di bumi itu tidak terbatas. Sehat, tidur, dan masih bisa bernafas itu buktinya. Sementara uang, harta, pangkat, dan jabatan itu cuma selembar daun. Jadi, mana mungkin selembar "daun yang kecil" bisa menutupi "bumi yang luas". Daun itu menutupi telapak tangan saja sulit. Tapi bila "daun yang kecil" menempel di pelupuk mata. Maka tertutuplah bumi yang luas. Semua jadi gelap. Jalan terang pun tidak bisa terlihat.

Bumi hampir tidak percaya. Rektor Unila kena OTT korupsi penerimaan mahasiswa baru, Bupati langkat korupsi. Hingga PNS saksi kunci korupsi di Pemkot Semarang dibakar hingga tewas. Belum yang "mejeng" ke sana ke sini demi kekuasaan. Minta jabatan, hingga mengejar pangkat siang-malam. Hingga akhirnya berujung di penjara. Semua bisa terjadi. Karena manusia kurang bersyukur atas apa yang dimiliki. Ingin dibilang kaya, ingin dipuji banyak orang. Dan akhirnya "daun yang kecil pun menutupi bumi yang luas". Kurang bersyukur, maka bumi pun jadi gelap.

DAUN yang kecil menutupi BUMI yang luas.

Hari-harinya penuh keluh-kesah. Gelisah dan merasa tidak bahagia. Segala hal dikomentari dan susah melihat orang senang. Menebar hoaks, memendam kebencian. Tiap hari mengais-ngais kejelekan orang. Selalu membandingkan dirinya dengan orang lain. Bermentalitas "korban". Hingga menuding orang lain salah dirinya yang paling benar.  Hingga lupa, berbuat baik secara nyata di hamparan bumi yang luas. Enggan menebar kebaikankepada sesama. Lalu merasa jadi orang paling menderita di dunia.

Lupa bersyukur. Hingga daun yang kecil menutupi bumi yang luas. Nabi Ayyub itu sepanjang hidupnya penuh ujian. Dilenyapkan kekayaannya, kehilangan anak-anaknya. Ditimpa musibah penyakit berkepanjangan, hingga istrinya pun meninggalkannya. Tapi hebatnya, ia tetap sabar dan bersyukur. Memang, kita bukan Nanbi Ayyub. Tapi selalu ada hikmah dari kisah beliau. Memangnya, seberapa sengsara kita hidup di dunia? Atas cobaan, musibah, hingga masalah yang melanda.

Manusia sering lupa. Orang di gunung itu merindukan pantai. Sebaliknya, orang di pantai justru ingin tinggal di gunung. Orang desa bilang enak hidup di kota. Orang kota malah pengen hidup di desa. Tidak sedikit rakyat yang berjuang ingin jadi pemimpin. Tapi pemimpin justru capek dan ingin jadi rakyat saja. Kata kamu orang lain hidupnya enak. Sementara orang lain justru bilang hidup kamu yang enak. Begitulah hidup di dunia. Semuanya hanya fantasi dan aksesori. Maka jangan sampai bumi yang luas ditutupi daun yang kecil. Bersyukurlah atas apa yang ada. Karena semua sudah sesuia porsinya. Semua sudah pantas untuk masing-masing kita.

Jangan tutupi bumi yang luas dengan daun yang kecil. 

Selalu ada alasan kuat untuk bersyukur setiap hari. Selalu ada gairah untuk berbuat kebaikan di mana pun dan kapan pun. Selalu ada energi untuk menebar manfaat untuk orang lain. Sekalipun hanya sediakan tempat membaca, mamfasilitasi akses bacaan untuk anak-anak kampung. Selalu mengubah niat baik jadi aksi nyata. Seperti yang dilakukan di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Lagi-lagi, jangan tutupi bumi yang luas dengan daun yang kecil. 

Bila hidup di dunia sementara, terus apa yang mau dilakukan? Menumpuk kekayaan, mengejar karier, berjuang keras untuk jabatan hingga berangkat gelap pulang gelap. Memang, apa yang dicari dalam hidup ini? Hingga lupa dari mana berasal dan mau ke mana menuju?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline