Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Maraknya Kekerasan di Sekolah, Jadikan Taman Bacaan sebagai Basis Pendidikan Karakter Anak

Diperbarui: 7 Februari 2022   19:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: TBM Lentera Pustaka

Kemarin di Surabaya, ada guru memukul siswa di kelas. Sebelumnya, ada siswa yang memukul guru karena ditegur main gawai di kelas. Itu bukti pendidikan sudah kehilangan karakter. Pendidikan yang kian jauh dari adab dan akhlak. Karena selama ini, pendidikan terlalu bertumpu pada logika, pada otak manusia.

Sangat salah bila pendidikan dipersepsi untuk membentuk siswa jadi pintar. Pendidikan, hampir lupa bahwa belajar bukan untuk meraih nilai yang tinggi. Bukan pula agar mampu menjawab pertanyaan yang sulit. 

Tapi pendidikan atau belajar adalah untuk "mempertahankan semangat berprestasi, semangat kebaikan pada setiap orang" agar mampu bertahan hidup dalam beragam tantangan. Karena itu, karakter menjadi kata kunci dalam pendidikan.

Maka sangat salah, bila belajar atau sekolah targetnya jadi pintar. Apalagi ditambah embel-embel menyerahkan tanggung jawab rumah kepada sekolah. Di zaman begini, orang pintar itu sudah banyak. Tapi orang-orang berkarakter itulah yang makin langka. 

Jadi pendidikan harusnya untuk membangun karakter siswa, sekaligus guru. Belajar itu pijakannya adalah "kebaikan dan kelembutan". Itu berarti, tidak boleh terjadi di sekolah apa yang disebut "kekerasan, kemarahan atau kebencian". Belajar harus terbebas dari akhlak dan perilaku buruk.

Sayangnya, zaman makin maju makin canggih. Justru pendidikan karakter makin diabaikan. Sekolah hanya mengejar kurikulum dan target pembelajaran. Sementara karakter siswa kian diabaikan. 

Anehnya, negara dan dunia pendidikan terlalu percaya pada pendidikan formal. Ruang kelas dianggap segalanya. Padahal di masa pandemi Covid-19 begini, sekolah sendiri kebingungan mengurus dirinya sendiri. 

Sementara ruang belajar di masyarakat, seperti taman bacaan sudah terlalu lama dibiarkan tidak berkembang. Pendidikan nonformal dianggap "marjinal". Sehingga tidak diurus dengan serius. Negara lupa, bahwa pendidikan yang partisipatif itu ada di pendidikan nonformal. 

Sebagai contoh saja, apa yang dilakukan di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak. Sekalipun bersifat nonformal, setelah berjalan 5 tahun ini, kini TBM Lentera Pustaka mampu menjalankan 12 program literasi, seperti: 1) TAman BAcaan (TABA) dengan 130 anak usia sekolah dari 3 desa (Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya) yang terbiasa membaca 3-8 buku per minggu per anak, 2) GEBERBURA (GErakan BERantas BUta aksaRA) dengan 9 warga belajar, 3) KEPRA (Kelas PRAsekolah) dengan 26 anak, 4) YABI (YAtim BInaan) dengan 14 anak yatim yang disantuni dan 4 diantaranya dibeasiswai, 5) JOMBI (JOMpo BInaan) dengan 8 jompo usia lanjut, 6) TBM Ramah Difabel dengan 3 anak difabel, 7) KOPERASI LENTERA dengan 33 ibu-ibu anggota, 8) DonBuk (Donasi Buku), 9) RABU (RAjin menaBUng), 10) LITDIG (LITerasi DIGital), 11) LITFIN (LITerasi FINansial), dan 12) LIDAB (LIterasi ADAb). Tidak kurang dari 250 orang menjadi penerima layanan literasi TBM Lentera Pustaka setiap minggunya.

Berbekal model "TBM Edutainment", TBM Lentera Pustaka pun mengembangkan kegiatan literasi berbasis edukasi dan entertainment. Sebuah cara untuk menjadikan taman bacaan sebagai sentra pemberdayaan masyarakat yang menyenangkan, bukan hanya tempat membaca buku semata. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline