Lihat ke Halaman Asli

Sukarja

Pemulung Kata

SBY-Prabowo, Antara Rivalitas dan Koalisi

Diperbarui: 21 November 2018   13:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prabowo dan SBY/Tempo.co

Prabowo Subianto merupakan sosok politisi yang penuh percaya diri. Bahkan terlalu percaya diri, sehingga apa yang dilakukan kadang merugikan dirinya sendiri. Hal ini sudah terjadi berulang kali. Mungkin karena tak ada orang lain yang dia dengar suaranya. Di Partai Gerindra, dia tidak hanya menjabat Ketua Umum, posisi Ketua Dewan Pembina juga dipegangnya sendiri. Ini pula yang dijadikan alasan mengapa dirinya disebut 'maaf' Capres Abadi.

Itulah Prabowo. Keikutsertaannya di ajang Pilpres boleh dibilang sudah dimulainya sejak tahun 2004. Dilanjutkan di Pilpres 2009 sebagai cawapresnya Megawati Soekarnoputri, kemudian di Pilpres 2014 sebagai capres dengan menggandeng Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa.

Saking percaya dirinya, Prabowo tak mau mendengar himbauan Habib Rizieq Shihab (HRS) melalui Ijtima Ulama yang merekomendasikan Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dr Salim Segaf Al Jufri dan Ustaz Abdul Somad sebagai bakal cawapresnya.

Mungkin saja, bagi mantan Danjen Kopassus ini, bukan masalah besar jika dirinya tidak mengikuti hasil rekomendasi HRS atau ijtima ulama. Bukan itu saja, bahkan Prabowo pun tak "gentar" bila partai dan dirinya juga tidak memilih salah satu dari 9 bakal cawapres yang disodorkan PKS. Termasuk juga menolak tawaran Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyodorkan putranya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai bakal cawapres.

Inilah yang membedakan Prabowo dengan Joko Widodo (Jokowi), rivalnya di Pilpres 2014 dan 2019. Jokowi tentu masih harus mendengarkan kata-kata ketua umum partai yang mengusung dan mendukungnya, lebih-lebih mendengarkan Megawati.

Dalam hal ini, "kepongahan" Prabowo terhadap partai pendukung koalisinya bisa saja dianggapnya tak berdampak apa-apa. Atau, mungkin karena Prabowo, seperti merasakan bahwa dirinya sudah semakin dekat menuju gerbang Istana Kepresidenan. Prabowo salah besar.

Buktinya, ketika Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menerima tawaran Erick Thohir untuk menjadi penasihat hukum pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin, kubu Prabowo terkesan seperti kebakaran jenggot.

Begitu pula ketika SBY terkesan "meradang" dengan pernyataan Sekjen Gerindra Ahmad Muzani soal janji SBY yang akan mengkampanyekan Prabowo-Sandi. Kubu Prabowo-Sandi kesannya kalang kabut dan penuh kekhawatiran kehilangan dukungan Demokrat.

SBY, Praboow,dan AHY/BeritaSatu.com

Rivalitas dalam Koalisi SBY dan Prabowo

Cuitan SBY di akun twitternya jadi bukti bahwa rivalitas antara dirinya dengan Prabowo hingga kini masih terasa.  Kenangan ketika sama-sama di Akademi Militer Magelang, dimana menurut Hermawan Sulistyo, Prabowo pernah memukuli SBY, sehingga peristiwa itu bisa jadi alasan mengapa Prabowo kelulusannya lebih lambat setahun dari SBY.

Ketika Demokrat gagal menyodorkan AHY ke Jokowi, SBY pun lantas memutuskan bergabung dengan Prabowo. Tentu saja, Prabowo menerimanya dengan tangan terbuka, namun tak lebih dari itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline