Lihat ke Halaman Asli

Syaiful Rahman

TERVERIFIKASI

Pelajar

Mengatur Mood dalam Menulis

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dalam acara bedah buku Catatan Kecil Tentang Literasi, lebih tepatnya dalam program Buka Baca Buku di Suara Akbar Surabaya (SAS) FM 107,5, Senin (27 April 2015) ada lima SMS dan satu telepon yang mengajukan pertanyaan. Sebenarnya, saya cukup dibuat bingung dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Ya, rasa takut salah masih saja sering bercokol dalam benak saya.

Satu pertanyaan yang ingin saya ulas dengan berbagi pengalaman dalam tulisan singkat ini adalah bagaimana mempertahankan mood menulis. Saya tidak ingin menjawab langsung tapi saya hanya ingin berbagi pengalaman. Saya rasa ini akan menjadi lebih menarik karena menurut saya, persoalan mood ini adalah persoalan proses dan cara mengelola.

Mood memang selalu menjadi masalah dalam dunia kepenulisan. Bahkan dalam dunia anak muda sekarang, mood pun selalu menjadi alasan untuk bermalas-malasan. Akhir dari masalah mood adalah kebuntuan atau dalam dunia kepenulisan biasa dikenal writerblock.

Saya pun sering mengalami hal itu. Apalagi ketika saya masih senang belajar menulis karya-karya sastra, khususnya cerpen dan novel. Dua karya itu memiliki potensi yang besar dalam masalah mood. Saya pernah belajar menulis novel kepada seorang novelis genre horor, beliau adalah Mbak Ruwi Meita, seorang guru yang berdomisi di Ponorogo dan menjadi novelis yang dikontrak oleh penerbit Gagas Media.

Saat itu, saya sering mengalami writerblock hingga kadang membuat saya merasa stres. Keinginan untuk menulis sangat besar dan menggebu-gebu namun tak satu pun kata yang bisa dituliskan. Bahkan, kalaupun kata itu dituliskan, selang beberapa menit, kata itu dihapus karena merasa tidak puas.

Untuk mengobati penyakit ini, saya tak henti-henti mencari jawaban. Saya mencari di internet, bertanya kepada para penulis, dan lain sebagainya. Sejauh yang saya temui, semua penulis pemula memang pernah mengalami masalah tersebut. Itu wajar.

Namun, Mbak Ruwi Meita menyarankan kepada saya agar tidak terpaku kepada satu tulisan. Bila saya merasa buntu untuk melanjutkan menulis novel maka bisa pindah sejenak ke cerpen, puisi, atau yang lain. Yang terpenting usahakan tetap menulis. Alhasil, banyak tulisan saya yang tidak jadi. Ada yang hanya satu paragraf, dua paragraf, tiga paragraf. Itu semua hanya pengalihan untuk menghilangkan writerblock.

Tapi, saya ingat sebuah cara menulis yang pernah diajarkan oleh Pak Avan Fathurrahman. Beliau adalah pembimbing jurnalistik saat saya masih di MAN Sumenep. Sebenarnya saya merasa sayang sekali karena saya kenal dan belajar kepada beliau hanya dalam waktu singkat, setelah hampir lulus. Cerpenis itu memiliki cara berbeda dalam melatih siswa menulis.

Beliau tidak menekan siswanya—kebetulan saat ini semua peserta berasal dari kru majalah sekolah Suara Madaniyah—harus menulis dalam bentuk apa. Perintahnya, sekarang tulis saja apapun yang ada dalam benak kalian. Kalau bingung mau menulis maka beliau pun menyuruh peserta pelatihan untuk menulis kebingungan itu. “Saya bingung mau menulis apa. Saya memikirkannya. Tapi, belum juga ketemu. Masih bingung. Dan seterusnya.” Demikian perintahnya yang saya ingat.

Baginya, yang penting semua peserta bisa menulis dulu. Waktu itu, beliau mengatakan, “Saya jamin semua anak sebelum keluar dari sini pasti bisa menulis. Jari saya taruhannya.” Wow! Fantastis binggo! Betul memang. Metodenya itu ternyata sangat efektif. Semua peserta bisa menulis bahkan tidak mau berhenti meskipun waktunya sudah habis.

Mengingat itu, sekarang saya pun menggunakan metode itu lagi. Bagi saya, menulis karya sastra berupa puisi, cerpen, maupun novel membutuhkan perenungan yang dalam dan panjang. Sehingga dalam satu minggu terkadang hanya menghasilkan satu puisi. Itu pun kalau menghasilkan. Apalagi cerpen dan novel. Lama sudah saya tidak menulis itu lagi.

Tapi, setiap hari tetap mewajibkan diri untuk menulis meskipun hanya berupa ulasan pengalaman pribadi seperti ini. Atau sekadar memberi tanggapan terhadap masalah yang saya temui di lingkungan sekitar. Intinya, yang penting tiap hari menulis. Entah dalam bentuk apa.

Selain itu, untuk menghilangkan writerbock dan mengembalikan mood yang buruk juga sangat bergantung pada minat membaca. Semakin banyak membaca maka akan semakin kecil pula potensi writerblock yang dialami. Sebab masalah ini sebenarnya juga berkaitan dengan jumlah referensi yang dimiliki seorang penulis.

Saya pernah menanyakan kepada Mas Eko Prasetyo, bagaimana beliau bisa menulis dengan bagus dan produktif. Beliau menegaskan bahwa suka membaca menjadi kunci utamanya. Gila membaca merupakan harga mati yang tak dapat ditawar oleh seorang penulis.

Analogi sederhananya, bagaimana mungkin muncul output jika tidak ada input? Bagaimanapun, hukum sebab akibat juga berlaku dalam dunia kepenulisan. Membaca buku adalah bagian dari input dan tulisan adalah bagian dari output. Kenapa saya mengatakan bagian? Karena selain membaca juga butuh perenungan, pemikiran. Selain menulis, juga butuh tindakan nyata.

Demikian sekilas pengalaman saya dalam mengatasi writerblock atau mood yang buruk ketika menulis. Meskipun tulisan saya juga tidak bagus sehingga sering dikembalikan oleh media, tapi saya ingin terus belajar, belajar, dan belajar, berusaha, berusaha, dan berusaha. Semoga bermanfaat!

Surabaya, 28 April 2015




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline