Lihat ke Halaman Asli

Suyono Apol

Wiraswasta

Sarpin, KY, dan Lebaran

Diperbarui: 17 Juli 2015   07:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Hakim Sarpin Rizaldi"][/caption]

Presiden Jokowi tidak ingin persoalan antara Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi, dengan dua komisioner Komisi Yudisial (KY), Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman Syahuri berlarut-larut sehingga menimbulkan kegaduhan politik. Sebagai tindak lanjutnya, Menko Polhukam Tedjo Edhi Purdijatno berusaha melakukan mediasi antara komisoner KY yang dilaporkan dengan Sarpin, yaitu berupaya meminta Sarpin untuk mencabut laporannya di kepolisian. Namun Sarpin menyatakan tidak akan berdamai, ia menganggap kedua pimpinan KY tersebut tidak menanggapi somasi yang pernah ia ajukan sebelum ia lapor polisi. Proses hukum saat ini tengah berjalan, maka Sarpin bersikeras menyelesaikannya hingga tahap pengadilan.

Susahnya berdamai

Banyak pihak, baik tokoh masyarakat, LSM, maupun masyarakat luas menyesalkan penetapan tersangka oleh Bareskrim Polri. Mengapa tidak dilakukan mediasi terlebih dahulu? Kepala Bareskrim Polri Komjen Budi Waseso menepis pendapat tersebut karena tidak fair kalau Bareskrim yang mendamaikan, bisa disangka memihak. Menurutnya akan lebih obyektif kalau mediasi datangnya dari luar Polri. Namun upaya mediasi yang dilakukan Menko Polhukam Tedjo belum membuahkan hasil. Rencananya akan ada buka puasa bersama antar pihak-pihak yang bersangkutan pada hari Kamis (16/7/2015). Namun kabar itu berlalu begitu saja seperti tertiup angin. Yang ada adalah berita dari pihak Sarpin yang tetap menolak upaya damai. Namun orang masih berharap, mungkinkah komisioner KY dan Sarpin saling bermaaf-maafan pada hari suci Idul Fitri atau sekitar hari itu dalam suasana lebaran?

Melihat dari pelbagai sisi

Secara wajar dan obyektif, penulis sungguh mengharapkan terjadinya perdamaian dalam kasus ini, namun agar fair, kasus ini akan dilihat dari berbagai sudut pandang. Tidak dapat dipungkiri, banyak kalangan di masyarakat luas melihat dari kacamata hitam dan putih. Ada tokoh antagonis seperti para koruptor, politisi busuk, aparat konspiratif, dan lain-lainnya. Tokoh protagonisnya adalah KPK, KY, PPATK, dan lain-lainnya.

Dalam film, tokoh antagonis selalu salah karena berada pada posisi yang salah dengan niat yang salah. Pola pikir itu sering masuk ke dalam dunia nyata. Bukan rahasia lagi kalau nama Sarpin memiliki konotasi sendiri, bukankah banyak lelucon atau dagelan menggunakan nama itu. (Entah kalau nama Sarpin kebetulan muncul di sini.)

Menurut sudut pandang Sarpin, ia adalah pihak yang dizalimi, yang diusik ketenangannya. Taufiqurrahman dinilainya telah menuduhnya mengubah norma KUHAP, yakni Pasal 77 tentang objek gugatan praperadilan. Sarpin berpendapat tugas KY adalah mengawasi hakim agar tidak melanggar kode etik, bukan untuk mengomentari keputusan hakim. KY harus menjaga harkat dan martabat hakim agar melaksanakan tugas dengan baik dan tidak keluar dari koridor hukum. Sebaliknya, materi atau substansi perkara dan putusan bukan ranah KY.

Sarpin menolak disebut melakukan serangan balik. Ia berargumen bahwa ia bela diri karena diserang. Ia tidak merasa menyerang, ia hanya melapor kepada polisi karena pencemaran nama baik adalah delik aduan. Ia tidak merasa bahwa melapor kepada polisi sebagai tindakan berlebihan karena sebelumnya ia telah memberikan somasi, tetapi para komisioner KY itu mengabaikannya.

Selain Sarpin, Budi Waseso (Buwas) pun banyak mendapat kecaman. Ia dianggap berlebihan dengan menetapkan dua komisioner KY sebagai tersangka. Ia dianggap berperan dalam kegaduhan politik dengan memperuncing pertikaian antarinstansi negara. Ia merasa telah menjalani semua proses sesuai dengan prosedur. Ia merasa netral, tidak memihak, bukankah keputusan perkara terserah pengadilan kelak? Atas permintaan untuk mendamaikan mereka, ia bilang polisi harus netral, tidak bisa menolak pengaduan yang memenuhi persyaratan. Kalau Sarpin mencabut laporannya, kasus selesai, sederhana saja. Jadi kalau Menko Tedjo berinisiatif dan bisa mendamaikan Sarpin dengan komisioner KY, Buwas menilai bagus, yang penting bukan Polri yang melakukannya.

Komisioner Komisi Yudisial pun tidak luput dari sorotan kritik. Apakah mereka yakin bahwa mereka berada di pihak yang benar? Kalau yakin, mengapa minta damai? Itu mengundang pertanyaan berikutnya, andaikan yakin berada di pihak yang benar, apakah mereka ragu akan mendapat keadilan di pengadilan nanti? Kalau mereka ragu akan netralitas dan integritas hakim-hakim yang mengadili mereka nanti, bagaimana dengan pengawasan mereka terhadap para hakim itu selama ini? Jadi apapun yang akan terjadi, para komisioner KY itu didorong untuk menunjukkan harkat dan martabat mereka secara ksatria di pengadilan nanti. Bagaimana kita menjawabnya kalau para komisoner tersebut balik bertanya, "Anda hanya berbicara, tidak mengalami. Bagaimana kalau Anda yang menjadi kami, berani kah?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline