Lihat ke Halaman Asli

Meraih Kebahagiaan Sejati dengan Melaksanakan Umroh

Diperbarui: 16 September 2015   11:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di tulis oleh ustadz Ainul Yaqin Semarang

Kebahagiaan adalah idaman setiap orang, bahkan menjadi simbol keberhasilan sebuah kehidupan. Semua orang tentu ingin bahagia. Namun hanya sedikit orang yang mengerti arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Tidak sedikit manusia yang mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya, menggantungkan cita-cita setinggi langit dengan puncak tujuan tersebut, yaitu bagaimana meraih kebahagiaan hidup.

 

 

Menyadari hal ini, Ibnu Abbas ra. memberikan rambu-rambu tentang hakikat kebahagiaan. Ibnu Abbas ra. adalah sahabat senior yang selalu menyertai baginda Rasulullah saw. Di kalangan para mufassir, beliaulah mufassir terunggul di antara yang lain. Pada umur sembilan tahun saja, Ibnu Abbas kecil telah hafal Al-Qur’an dan menjadi imam masjid. Sampai Nabi pun pernah berdo’a khusus untuk beliau, “Ya Allah, berilah kepadanya pemahaman tentang agama dan ajarilah dia tentang takwil (tafsir yang mendalam).”

 

Menurut Ibnu Abbas ra., ada tujuh indikator yang menjadi tolok ukur bahwa seseorang telah mencapai kebahagiaan hakiki. Ketujuh indikator tersebut adalah sebagai berikut:

 

Pertama, Qalbun Syakurun (hati yang selalu bersyukur)

 

Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress. Inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang diberikan Allah, ia malah terpesona dengan pemberian dan keputusan Allah.

 

Bila sedang dalam kesulitan, maka ia segera ingat sabda Rasulullah SAW, “Kalau kita sedang sulit, perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita”. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap “bandel” dengan terus bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur!

 

Kedua, Azwajun Shalihah (pasangan hidup yang sholeh)

 

Pasangan hidup yang sholeh/sholihah akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat, kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholehan, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri yang sholehah.

 

Ketiga, Auladun Abrar (anak yang soleh)

 

Saat Rasulullah SAW sedang thawaf, beliau bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf, Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : “Kenapa pundakmu itu?” Jawab anak muda itu, “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya.” Lalu anak muda itu bertanya, ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk ke dalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline