Lihat ke Halaman Asli

Suri Wahyuni

Seorang pendidik

Tidak Boleh Sedih

Diperbarui: 30 Juli 2022   14:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

"Selesai" batinku lirih. Berulang kali aku periksa tulisan di atas kertas karton hitam berjudul "Kesepakatan Kelas 8.5".  Sengaja kali ini aku yang membuat sendiri hasil diskusi anak-anak ke dalam kertas karton. Kertas Karton ini akan menjadi bahan acuan anak-anak untuk melakukan perilaku yang diharapkan bersama-sama di dalam kelas. 

Teringat saat diskusi bersama anak-anak untuk membuat kesepakatan kelas. Aku mulai dari pertanyaan pemantik "Bagaimana kelas impian yang ingin diwujudkan bersama?" Satu persatu anak-anak menyampaikan pendapatnya. "Disiplin" "ya, disiplin" sahutku sambil menuliskan kata tersebut di papan tulis. Selanjutnya bermunculan ide dari anak-anak. "Kelas bersih Bu". "Rapih pakaian murid nya"

Dari ide anak-anak, jika disatukan maka diperoleh kelas impian yang mereka harapkan adalah bersih, rapih, nyaman tertib dan disiplin 

Dari setiap kata yang sudah disepakati tersebut, aku lanjutkan dengan pertanyaan pemantik, "bagaimana ya cara kalian untuk bisa mewujudkan kelas ini jadi rapih?" Pertanyaan ini saya lanjutkan untuk tiap-tiap poin kata yang sudah disepakati.  "Piket nya aktif Bu" jawab mereka. Dilanjutkan "Tidak buang sampah sembarangan, tidak jadi beban, berlaku sopan santun, rajin belajar, tidak mengejek, tidak mencuri, rajin belajar, gotong royong".

Dari pilihan tindakan yang akan dilakukan untuk mewujudkan poin-poin kesepakatan tersebut maka aku simpulkan menjadi enam poin utama. Diantaranya, piket kebersihan aktif, gotong royong dalam menjaga kebersihan, rajin belajar, rapih pakaian dan rambut, menjaga barang milik orang lain, tidak mengejek orang lain dan tidak menjadi beban kebersihan dan kenyamanan. 

Di karton tersebut, aku menyisakan sedikit ruang di bagian bawah karton. Untuk tempat anak-anak memberi stempel dengan sidik jarinya untuk kemudian di bubuhi tanda tangan. Ku beri nama ruang kesepakatan kelas 8.5. Menghargai anak-anak supaya mau kontribusi aktif melaksanakan kesepakatan kelas.

Mulailah di hari itu aku melangkah menelusuri lorong trotoar kelas menuju kelas 8.5. Sebagian anak-anak sudah ada yang masuk ke dalam kelas. Tapi sebagain lainnya masih ada yg di halaman kelas. Walaupun mereka sudah melihat aku masuk ke dalam kelas. Sri Wahyuni terlihat mengahalau teman-temannya agar mau masuk ke dalam kelas. 

"Sudah- Sri, kamu masuk aja ke kelas. Biarkan mereka yang masih ingin di luar" sahut ku dengan suara yang agak lantang. Sengaja agar seisi kelas mendengar pernyataan ku. "Tidak usah teriak-teriak meminta temanmu yang tidak mau masuk ke dalam kelas. Jika sudah diingatkan tidak mau ya sudah. Kamu masuk aja ke dalam kelas. Karena ibu sudah ada di dalam kelas" ucapku menjelaskan. 

Tak berapa lama, kulihat anak-anak yang semula di luar segera masuk ke dalam kelas. Aku pun membuka gulungan karton yang ku bawa. "Nah, perhatikan hasil kesepakatan kelas kita kemaren. Kita baca yok satu persatu". Serentak anak-anak membaca kalimat yang tertuang di atas kertas karton tersebut.

Selanjutnya aku menegaskan agar anak-anak mau komitmen melaksanakan poin demi poin yang ada di kesepakatan kelas tersebut dengan konsisten. Kemudian aku lanjutkan dengan memanggil satu persatu anak-anak agar maju ke depan membuat sidik jari dan membubuhkan tanda tangannya. 

D akhir proses kesepakatan kelas, aku mengajak anak-anak refleksi dengan menjawab dua pertanyaan pemantik "Apa yang menjadi kesulitan atau kendala dalam mewujudkan kesepakatan kelas kita?, Bagaimana cara saya untuk mengatasi kendala tersebut!" 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline