Lihat ke Halaman Asli

Suradin

Penulis Dompu Selatan

Kisah Traveling di Kebun

Diperbarui: 8 September 2021   07:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri. Suradin


SEHABIS adzan ashar berkumandan di pelantang masjid. Kami bergegas dengan mengendarai masing-masing kuda besi menuju kebun di belakang Desa Daha, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu-NTB, Selasa, 7 September 2021.

Kami berlima. Kendaraan yang kami tunggangi harus membelah gang kampung untuk sampai di tempat tujuan. Bahkan jalan setapak yang penuh bebatuan harus di taklukan. Jalan ini sangatlah penting bagi warga setempat. Dengan jalan inilah, warga keluar-masuk persawahan dan ladang di belakang kampung. Kami begitu hati-hati melewatinya. Salah ngegas sedikit saja bisa berakibat fatal.

Dokpri. Suradin

Dokpri. Suradin

Tapi medan ini menguji adrenalin kami. Walau pun  tanjakannya selemparan batu orang dewasa, tapi sangat menguji nyali. Kami berhasil melewatinya. Di atas puncak bukit kami bisa melepas pandang. Hamparan pemukiman. Petakan sawah yang terkotak-kotak terlihat jelas. Viewnya sangat indah. Terlebih teluk Cempi yang memanjang jauh ke utara membelah pulau Sumbawa.

Karena jalan setapak untuk masuk ke dalam kebun masih belum bersahabat. Akhirnya kami terpaksa memarkirkan kendaraan di luar pagar. Tenang, tidak akan digondol maling. Kala sore tiba, jalan ini akan ramai di lalui oleh warga. Kami berjalan kaki menuruni pebukitan. Tidak lama. Hanya sebentar.

Dokpri. Suradin

Dokpri. Suradin

Terlihat ada dangau di pinggir kolam. Selang memanjang dan mengantarkan air yang mengalir tiada spasi. Meluncur deras. Jernih. Di ambil langsung dari mata air gunung. Kebun milik salah seorang kawan ini begitu adem. Kolamnya ada dua. Di dalamnya menjadi rumah bagi ribuan ikan nilam. Ikan ini sengaja di pelihara. Yang nantinya akan di panen pada saatnya tiba. Kemudian petakan di bawahnya ada kangkung yang    menghijau di tiap bedennya.

Sapuan senja memantul di dedaunan memercikan cahaya indah. Gemericik air menambah ademnya semesta. Kami melihat sekeliling. Melepas pandang pada seluruh arah. Beberapa pohon pepaya yang menjulang tinggi di pematang sawah, mengangkasa. Rimbunan pohon pisang menghijau bejibung di pinggir sawah. Angin sesekali menyapa. Sepoi-sepoi merayu lembut dengan hempasannya yang manja.

Dokpri. Suradin

Dokpri. Suradin

Di beberapa titik saya mencoba mendokumentasikan momen. Ada hasrat untuk menukilnya sebagai kenangan. Dokumen sebagai penyaksi dan saksi bahwa kami pernah berpijak di kebun  yang indah ini. Suasana pedesaan begitu terasa. Seolah kami menyatu dengan semesta. Hiruk pikuk kesibukan yang menjenuhkan seolah terbayarkan. Peliknya kehidupan yang melelahkan seakan terhempas angin sore.

Dokpri. Suradin

Dokpri. Suradin

Lebih mengasikan lagi, kami disuguhi duwet. Duwet nampaknya lagi musimnya. Buahnya hitam. Tapi manis. Pohon duwet kadang tumbuh sendiri di tempat yang berair. Kadang pula ada yang di tanam. Di kebun ini, ada banyak tumbuhan yang di tanam. Selain duwet, ada pula kangkung, pepaya, pisang, kacang panjang, ubi kayu dan segala jenis tumbuhan yang bisa dimakan dan menjadi obat tradisional.

Dokpri. Suradin

Dokpri. Suradin

Sambil bersantai dan bercerita, kami menikmati duwet yang disuguhkan. Selain melerai kisah, juga menaruh harap pada keinginan yang akan di tuntaskan. Cerita ini kami lanjutkan dengan duduk bersantai di bak air di ujung kampung. Bak air ini cukup besar.

Menampung sekian kubik air untuk kebutuhan air warga desa. Karena berada di atas bukit, jadi pemandangan cukup mempesona. Lalu lalang warga bisa dilihat dari atas bak air ini. Kami duduk bersantai sambil melantai dengan tikar plastik buatan pabrik.

Dokpri. Suradin

Dokpri. 

Malam mulai menyapa. Rumah-rumah warga mulai menyalahkan lampu. Sinarnya menyibak gelap. Kilauan-Nya seolah ingin mengatakan kepada kami, di pekatnya hidup akan selalu ada cahaya yang memberi harapan. Dan ini menegaskan bahwa, hidup tidak selamanya terpuruk. Ada saat dimana terangnya menepikan segala keterpurukkan yang mendera. Mengakhirinya, karena saatnya hidup benar-benar di jalani dengan santuy dan bahagia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline