Lihat ke Halaman Asli

Suprihadi SPd

Selalu ingin belajar banyak hal untuk dapat dijadikan tulisan yang bermanfaat.

Sendang Kapit Pancuran

Diperbarui: 18 April 2024   07:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Sendang Kapit Pancuran

"Meruwat bermakna membebaskan orang dari nasib buruk yang akan menimpa. Selanjutnya, ruwatan bermakna upacara membebaskan orang dari nasib buruk yang akan menimpa".

Aku buka-buka kamus untuk lebih memahami arti kata "ruwat" dan kata-kata bentukannya. Sebagai orang terpelajar, aku tidak mau melakukan sesuatu tanpa mengetahui dasarnya. Untung ada internet. Aku leluasa mencari info seputar ruwat.

"Mas Rahman, sudah ditunggu ayah!" ucap Tikno dengan santun.

"Ya. Tunggu sebentar, ya. Aku matikan laptop dulu!" ujarku spontan.

Rasa enggan sempat menyelimuti. Upacara-upacara yang ditonton banyak orang membuat risih. Seolah-olah aku adalah barang antik yang pantas ditonton dan dikomentari banyak orang.

Dari halaman sudah terdengar suara musik tradisional Jawa berkumandang. Ya. Suara gamelan itu mulai mengalun. Bergegas aku kenakan kemeja putih. Ayahku sudah menunggu di depan pintu kamar dengan mengenakan pakaian adat Jawa.

"Kita ikuti ritual yang tidak menyimpang dengan agama kita," bisik ayah di telinga kiriku.

Aku sepaham dengan ayah bahwa ritual malam ini adalah inisiatif kakek dan nenekku yang mempercayai tradisi turun-temurun. Dalih mereka adalah melestarikan budaya Jawa selain ingin membebaskan aku dari Betara Kala. Di samping itu ada upaya untuk mendatangkan wisatawan dari berbagai belahan bumi di dunia. Dengan begitu, aku merasa dijadikan objek wisata.

Bukan hanya aku sendiri yang harus mengikuti ritual ruwatan malam ini. Ada sekitar sepuluh orang. Mereka berasal dari beberapa desa di kota kami. Bahkan ada yang datang dari provinsi lain. Informasi yang aku dengar, ada juga peserta ruwatan orang dari luar negeri. Ayahnya orang Australia dan ibunya orang Jawa. Anaknya berkulit putih seperti ayahnya.  

Di depan layar untuk pentas Wayang Kulit, aku lihat sudah ada delapan orang berkemeja putih seperti diriku. Tidak jauh dari mereka terlihat orang tua yang berpakaian adat seperti ayahku. Panitia ruwatan segera mempersilakan kami segera bergabung dengan kedelapan orang berkemeja putih.

"Inilah, Bapak Abdul Rahman, anak Pancuran Kapit Sendang, yang bermakna anak laki-laki yang mempunyai satu kakak dan satu adik perempuan. Dipersilakan bergabung dengan Bapak/Ibu dan Saudara/Saudari yang sudah duduk di dekat pakeliran," begitu suara pembawa acara yang aku kenal betul suaranya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline