Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Sujadi

Enterpreneur

KRL Pakuan dan Serpong Ekspres Bisa Hidup Lagi

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Oleh: Akhmad Sujadi

Sejak diberlakukan pola operasi single operation (satu sistem operasi) di mana semua KRL Jabotabek berhenti di stasiun, dilanjut  peleburan kelas KRL  Ekspres, Ekonomi AC dan KRL Ekonomi menjadi KRL Commuter Line (CL), Pengguna KRL mengeluh makin sumpek, makin molor perjalananya dan ada pula yang bilang makin melelahkan.

Pengguna KRL makin mengeluh lagi, terutama eks penumpang KRL Ekspres Pakuan Bogor, Bojonggede, Depok, Serpong dan Benteng Tangerang Ekspres. KA Ekspres ini dulu jagoannya KRL. Waktu tempuhnya singkat karena tidak berhenti setiap stasiun dan gagah bisa menyalip KRL ekonomi.

Pada masa beroperasinya KRL AC di Jakarta setelah menerima hibah dari Pemerintah Tokyo 72 unit KRL pada tahun 2000, Daop 1  dan Divisi Jabotbek sebagai penyelenggara KRL, meluncurkan produk KRL Ekspres Pakuan dan terus bertambah hampir di semua lintas dengan nama stasiun pemberangkatan KRL Ekspres.

Permintaan KRL Ekspres atau KRL AC terus tumbuh dan Divisi Jabotabek yang kini menjelma menjadi perusahaan swasta sebagai anak usaha KAI makin kenceng beli gerbong KRL bekas dari Jepang.

Selain harganya murah KRL AC ini juga diminati pengguna dan operator. Selain masih layak pakai, KRL yang di negeri Sakura seharusnya rongsokan ini memiliki nilai ekonomi strategis, khusus bagi operator karena kalau investasi KRL baru mungkin sulit mengadakan KRL.

Keuntungan bagi penumpang harga tiket terjangkau oleh penumpang. Karena KRL baru perhitungan tarif tentu berdasarkan investasi yang lebih besar dan tentunya biaya itu dibebankan kepada penumpang. Beruntung pemerintah memberikan subsidi penumpang KRL Jabotabek.

Makin tambahanya armada KRL makin tambah masalah karena penyiapan tempat stabling (parkir) KRL makin kurang. Karena terbatasnya stabling di Depo-Depo KRL maka stabling KRL menggunakan beberapa emplasemen stasiun.

Waktu terus berkembang, pasca pemberlakuan pola operasi Single operation, perjalanan KRL yang menganut azas menjemput dan mengantar penumpang dari stasiun awal hingga tujuan membuat kesulitan operator menambah frekuensi perjalanan. Maka sejak akhir 2011 diberlakukan pola operasi loop line.

Pola operasi loop line membuat penumpang tambah sengsara. Karena penumpang yang semula dimanja tetap di dalam gerbong KRL harus turun, pindah di stasiun transit dan harus bersusah payah  bila harus berganti KRL untuk meneruskan ke stasiun tujuan.

Perubahan pola operasi ini mendapat protes keras dari penumpang. Mereka membuat petisi penolakan pola baru operasi KRL. Penumpang dari Bekasi ke Sudirman, Tanahabang. Serpong ke Sudirman-Manggarai, Bekasi ke Senen hingga Kampungbandan  protes keras. Namun operator tegar pendirian dan berhasil memaksa penumpang mengikuti pola baru.

Belum genap setahun kesengsaraan penumpang kebijakan baru diterapkan lagi. Terakhir pada 2014 diberlakukan sistem tiketing elektronik. Tidak lama diberlakukan tarif progresif dan pemberian subsidi dari pemerintah, sehingga tarif KRL untuk jarak lebih dekat membayar lebih murah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline