Lihat ke Halaman Asli

Suhmawardi

Pegiat di Nuzhola Islamic Studies

Dinding Ratapan Digital

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dinding, tembok (wall) Facebook terbelepot oleh guratan ringkik ratapan kehidupan. Reringkikan itu membelepoti setiap inci hamparan dinding, beradu pacu dengan senandung romantik dan setumpuk kata-kata tak otentik. Suara reratap alay dan kekutukan lebay pasca insiden gelap percintaan meraung-raung di hamparan dinding dan tembok. Ia kini tak ubahnya tembok ratapan.

Reratap dulu tersembunyi eksistensinya di balik kegelapan malam. Terpenjara di latar belakang kehidupan sosial oleh belitan rindu yang membelit hingga ke tulang belikat. Keheningan dan kesunyian malam di bawah kilau gemintang harapan adalah dinding ratapan para pencari hakikat. Rindunya mengejan kuat akibat terpentok dinding hijabah.

Waktu bergulir. Reratap mulai serapah dan serakan. Peduli amat soal dinding mana yang jadi penampung bagi kesempitan hidup. Digitalitasi ratapan membeku di seantero dinding digital. Batinisasi ratapan kian luluh di dinding jiwa dan hati. Tiada lagi gerak ratap meringis di dinding batin.

Memang, reratap itu perlu demi menyiyir rasa angkuh diri yang bersembunyi di dalam diri. Di balik reratap ada seonggok kelemahan dan ketidakberdayaan atas apa yang dihadapi, dialami, dan dijalani. Betapa kecil eksistensi diri di semesta Kuasa-Nya. Reratap itu perlu untuk menyiram hati yang tengah meranggas diterpa beleduk-beleduk dan teletong-teletong duniawi.

Dinding, tembok ratapan digital. Bukan tembok ratapan sebagaimana rebutan Kaum Yahudi dan Muslim nun jauh di sana. Namun tembok ratapan digital adalah rebutan kaum alay sepertiku. Mungkin?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline