Lihat ke Halaman Asli

Masih tentang Artidjo

Diperbarui: 4 Maret 2021   09:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Puisi Sugiyanta Pancasari

bintang-gemintang terlihat murung menahan kesedihannya yang tak terbendung
air matanya menggantung sebelum akhirnya menetes deras membelah gunung
hari ini bumi khatulistiwa tengah berkabung, menangisi kepergian seorang hakim agung
apakah ini isyarat palu keadilan bakalan buntung

tak ada yang abadi jika hidup telah pergi
kembali ke pelukan bumi, itu takdir yang tak bisa ditawar-tawar lagi
apalah artinya jasad, selain kumpulan tulang dan daging
duka ini: jalan terjauh yang harus kami tempuh, mimpi terpanjang dalam rimbun lebat bayang-bayang
tanpa integritasmu, kami seakan serdadu perang tanpa tombak dan pedang
dalam cahaya kegelapan, redup remang meraba-raba ujung jalan, menyiram benih kejujuran yang telah disemaikan di tanah karut marut ditumbuhi rumput-rumput, semak belukar hasrat kekuasaan untuk memperkaya diri,
tentang tanah tumpah darah kami yang keropos dan ringkih digerogoti korupsi

di tanganmu, keadilan tak mengenal kata gentar, dan senantiasa gigih dan tegar melawan monster dan gurita, mafia licin di tubuh-tubuh  lembaga negara, di rumah-rumah pusat kuasa.

tak perlu banyak waktu untuk melumat jasadmu, tapi tak ada yang mampu mengubur jiwa dan harum namamu

dan,
palu keadilanmu adalah tumbal bagi hidup ibu Pertiwi, masa depan anak cucu kami.

Jogja, 28 Februari 2021




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline