Lihat ke Halaman Asli

Bahy Chemy Ayatuddin Assri

Pendidik Di Salah Satu Kampus

Menyoal Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Diperbarui: 30 Maret 2024   09:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://jdih.sukoharjokab.go.id/

Demokrasi adalah pemerintahan rakyat atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya ikut andil dalam pemerintahan lewat perantara wakilnya. Dengan ini, hukum dan aturan-aturan di dalam negara yang menganut demokrasi ini berhubungan dan membela seluruh rakyat guna menegakkan perdamaian dan keamanan. Namun, pada kenyataannya, demokrasi malah seperti pembagian kekuasaan di antara wakil rakyat. Setiap kebijakan hanya memihak kepada segelintir orang yang mengatasnamakan dan membawa label "wakil" rakyat melalui partai politik. 

Awalnya, partai politik berguna untuk menampung aspirasi rakyat guna meneruskannya ke tahap selanjutnya dan menghasilkan kebijakan yang menguntungkan. Alih-alih menghasilkan kebijakan yang menguntungkan seluruh rakyat, lebih tepatnya aspirasi rakyat dimanfaatkan dan dimanipulasi untuk keberlanjutan eksistensi partai politik tersebut. Kebijakan-kebijakan yang keluar cenderung memberatkan rakyatnya sendiri. 

Sebenarnya, wakil rakyat tadi benar-benar perwakilan rakyat atau perwakilan partai politik? Itulah demokrasi, dimana kebebasan dijunjung tinggi, bahkan kebebasan manipulasi pun dijunjung tinggi, selagi termasuk dalam kebebasan berpendapat. Demokrasi juga menghendaki keputusan berada di pihak mayoritas. Oleh karenanya, Plato sangat kecewa dengan sistem pemerintahan demokrasi yang membuat gurunya, Socrates, dihukum mati karena mayoritas menghendaki demikian. Hal ini pun, dapat mengindikasikan bahwa demokrasi akan melakukan diskriminasi terhadap suara minoritas yang masuk akal dan melanggengkan suara mayoritas yang tanpa landasan. Dengan memprioritaskan suara mayoritas, dapat dipastikan disana pun ada kontribusi oligarki. Dengan demokrasi yang memelihara kebebasan, kontribusi oligarki pun tidak dapat terelakan.

Selain kontribusi oligarki, politik identitas pun ikut meramaikan semarak demokrasi. Politik identitas menghendaki kebenaran atau keputusan absolut berada di tangan satu komunitas agama atau minoritas. Jika politik identitas dipandang sebagai artikulasi dari demokrasi, sah-sah saja karena bagian dari kebebasan berpendapat. Namun, jika dipandang sebagai akumulasi dari demokrasi, hal ini harus dihindari karena suatu negara telah memutuskan untuk menganut demokrasi, berarti juga harus siap dengan kemajemukkan rakyat. Contohnya Indonesia, Indonesia bukanlah negara agama atau minoritas tertentu, tapi milik seluruh agama dan komunitas. Politik identitas di Indonesia muncul akibat keragu-raguan dan ketidakpercayaan rakyat dalam mengambil sistem asing, seperti demokrasi dan kebebasan berpendapat. Jadi, lebih kepada mengambil kebenaran dari agama atau minoritas rakyat tertentu.

Negara yang menganut demokrasi harus menganut hukum kerakyatan bukan suatu agama atau komunitas. Jadi, rakyat diadili oleh hukum rakyat yang mengatakan dia melanggar hukum atau mematuhi hukum. Rakyat tidak diadili dengan hukum agama atau minoritas yang mengatakan ia sesat dan taat. Negara tidak berhak mencampuri urusan pribadi yang menyangkut masalah hati nurani. Oleh karenanya, dengan paham sekularisme yang berusaha untuk membedakan antara urusan agama yang bersifat suci dan murni dan urusan negara atau politik yang kotor. Tidak etis menggabungkan antara sesuatu yang di dalamnya ada proses transaksi dan yang lain bersifat non-transaksi.

Suatu negara yang sudah berkomitmen untuk menganut demokrasi, berarti harus menanggung konsekuensinya. Tidak boleh adanya pemaksaan, hanya ada kebebasan, kebebasan memilih agama misalnya. Kebebasan beragama masuk ke dalam hak asasi manusia.  Sama halnya dengan demokrasi, hak asasi manusia juga memperjuangkan kebebasan individu. Dalam hal memperjuangkan kebebasan individu, bukan memperjuangkan individualisme itu sendiri, melainkan sebagai alat untuk menyadarkan bahwa di balik kebebasan pasti ada konsekuensinya. 

Dalam urusan agama, ada yang namanya agama resmi yang dianut oleh masyarakat. Hal ini malah menimbulkan diskriminasi di antara agama yang tidak resmi, seakan-akan mereka bukan agama. Dengan seenaknya memutuskan agama resmi tanpa memasukkan keyakian lain. Di samping menimbulkan kebebasan berpendapat, demokrasi juga menghasilkan diskriminasi atas nama kebebasan berpendapat. Sangat ironi!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline