Lihat ke Halaman Asli

Bahy Chemy Ayatuddin Assri

Pendidik Di Salah Satu Kampus

Konflik Agama di Maluku

Diperbarui: 23 Maret 2024   11:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://www.kompas.com/

Konflik Maluku dimulai pada tanggal 19 Januari 1999. Konflik ini sering digambarkan sebagai permusuhan lama antara Muslim dan Kristen. Konsentrasi konflik ini berada di Ambon, ibu kota Maluku. Konflik ini menjadi salah satu konflik terparah setelah turunnya Suharto. Dari tahun 1999 sampai 2002, konflik ini telah memakan korban hampir 5.000. Sebelumnya pada tahun 1998, konflik agama juga terjadi di Ketapang. Semenjak Suharto turun tahta, konflik-konflik berdarah seperti ini sering terjadi karena tidak adanya kontrol dari pemerintah yang memadai, atau dapat dikatakan juga bahwa kebijakan Suharto bersifat diskriminasi atas kelompok lain. Alhasil, konflik-konflik muncul sebagai respon dari kebijakan diskriminasi.

Dahulu, Suharto menerapkan kebijakan transmigrasi yang berguna untuk membantu pembangunan Indonesia. Masyarakat Jawa melakukan transmigrasi ke pulau-pulau di seluruh Indonesia yang bertujuan untuk mengajak masyarakat lokal ikut dalam gerbong pembangunan nasional. Dalam tatanan kenyataan, kebijakan ini membuat masyarakat transmigran tadi malah mendapatkan akses sumber daya yang luas ketimbang masyarakat lokal. Masyarakat lokal tidak diikutkan dalam mengelola sumber daya. Akses ke dalam sumber daya membuat masyarakat transmigran memiliki kualitas hidup dan ekonomi yang sangat baik. Dari sana, muncul kecemburuan sosial akan datangnya masyarakat transmigran. Hal ini terpancar pada asal-usul konflik berdarah ini. Ketika masyarakat transmigran Muslim dari Jawa mendominasi pekerjaan "Kristen". Padahal mayoritas masyarakat Ambon beragama Kristen. Kebijakan transmigrasi ini sangat diskriminatif terhadap kelompok Kristen. Sumbu kebencian telah terlihat.

Sumbu kebencian ini menyala ketika adanya konflik kecil antara sopir angkutan umum beragama Kristen dan penumpang yang beragama Islam. Mereka saling tusuk menusuk hingga berlumuran darah. Pembakaran rumah ibadah pun tidak luput dari konflik ini. Dari sini, perasaan panas selimuti masyarakat Islam dan Kristen. Akhirnya, konflik berdarah ini tidak dapat terhindarkan lagi. Menurut penduduk asli Ambon, mereka tidak menginginkan sekali konflik berdarah ini. Konflik ini terjadi atas dasar hasutan dari provokator, yaitu Laskar Jihad yang memiliki program untuk membasmi orang-orang Kristen di Ambon dan menyisakan orang-orang Islam saja. Hal ini memunculkan intoleransi beragama, khususnya agama selain Islam.

Intoleransi beragama tumbuh subur sejak jatuhnya Suharto dari singgah sananya. Sejak saat itu juga, orang-orang Indonesia mulai memakai simbol-simbol agama untuk menunjukkan perilaku kesalehannya, yg mana  simbol-simbol agama dilarang oleh pemerintahan Suharto karena bisa menjadi alat pemecah bangsa. Berhubung agama mayoritas Indonesia adalah Islam, agaknya menjadi salah jika tidak beragama Islam. Hal ini yang dirasakan oleh Elizabeth Pisani ketika melakukan penelitian di Indonesia. Masyarakat Indonesia telah diselmuti oleh sikap fanatik. Namun, ada harapan untuk menurunkan sikap fanatik dan intoleransi ini, yaitu program Kementerian Agama, moderasi beragama. Program ini berikhtiar untuk bersikap moderat dalam menyikapi agama dan tidak menghendaki adanya fanatik agama yang bisa memecah-belah bangsa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline