Lihat ke Halaman Asli

Sri Rumani

TERVERIFIKASI

Pustakawan

BJ Habibie dan Perpustakaan Pribadi

Diperbarui: 14 September 2019   17:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi:Imam Sukamto TEMPO (https://foto.tempo.co)

Indonesia telah kehilangan putra terbaik yang mempunyai pemikiran genius, visioner, penuh semangat, saat membicarakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seorang teknokrat sekaligus birokrat yang humanis, agamis, jujur, ikhlas, bekerja tanpa pamrih. Semuanya itu terkondisi karena dalam jiwa dan raga BJ Habibie telah bersatu antara ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang dilandasi iman dan takwa (imtak).

Idealnya memang demikian, sehingga impian membentuk sumber daya manusia (SDM) unggul itu sejatinya ada keseimbangan yang bersemayam dalam setiap pribadi antara iptek dan imtak. Iptek tanpa dibarengi imtak adalah kehampaan/kekosongan jiwa, akibatnya ketika menghadapi problematika kehidupan mudah putus asa, gamang, galau, dan cepat mengambil jalan pintas yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Sebaliknya imtak tanpa mengikuti perkembangan iptek identik dengan ketertinggalan dan ketidaktahuan.   

Kembali kepada sosok BJ Habibie yang sejak kecil (usia 4 tahun), sudah mempunyai rasa ingin tahu tinggi. Untuk menjawab rasa ingin tahu itu sumbernya dari sang ayah Alwi Abdul Djalil Habibie yang bertugas sebagai Kepala Dinas Pertanian Pare-pare di Sulawesi Selatan. Berhubung ayahnya sibuk, maka BJ Habibie kecil dibelikan buku-buku ensiklopedi, cerita, dan buku yang paling berkesan berjudul:"Mengelilingi Dunia Dalam 80 Hari", karya Jules Verne. Bagi BJ Habibie buku adalah istananya, yang lebih senang menghabiskan waktunya untuk membaca dari pada bermain (https://www.liputan6.com).

Ibu Ainun Besari isterinya, ternyata juga suka membaca, mengingat orang tuanya seorang dokter. Pasangan suami isteri gemar membaca menjadikan buku sebagai "harta karun", kekayaan yang tidak lekang oleh jaman dan tidak menjadi incaran para penjahat. Tidak heran bila di rumah BJ Habibie di Jalan Patra, Setiabudi, Kuningan Jakarta Selatan ada ruangan yang didesain khusus untuk perpustakaan pribadi diberi nama "Perpustakaan Habibie dan Ainun", dengan koleksi 5.000 judul. Patut menjadi tokoh teladan seorang birokrat yang mempunyai kegemaran membaca, ditengah masih prihatinnya tingkat literasi yang rendah.  

Berdasarkan pengamatan, keluarga yang yang mempunyai perpustakaan pribadi belum berbanding lurus dengan jumlah keluarga di Indonesia. Kalaupun di ruang tamu dan ruang keluarga disediakan rak untuk menyimpan buku ensiklopedia satu set yang berjajar rapi dan kesannya mewah, mahal, sekedar untuk pajangan yang jarang dibaca oleh anggota keluarga. Orang lebih bangga memakai pakaian dan menenteng tas yang harganya tidak masuk akal bagi orang kebanyakan daripada untuk "mencerdaskan lingkungannya", minimal mencerdaskan asisten rumah tangga (ART).

Perpustakaan pribadi, secara tidak langsung memberi inspirasi yang tidak ada habisnya bagi semua anggota keluarga. Dari perpustakaan pribadi itulah dapat menumbuhkan kebiasaan membaca untuk anak cucunya. Masalahnya, sejak kecil anak-anak tidak dibiasakan untuk membaca, apalagi lingkungan tidak mendukung dan tidak mempunyai panutan mempunyai kebiasaan membaca. Bagaimanapun anak kecil selalu mengikuti dan mencontoh apa yang dilakukan orang tuanya atau orang dewasa di sekelilingnya. Kalau anak setiap hari melihat orang tuanya asyik sendiri melihat layar smartphone, jangan salahkan anak masih kecil sudah kecanduan dengan layar ajaib.

BJ Habibie telah menjadi contoh bagi keluarga di Indonesia yang mendirikan perpustakaan pribadi di rumahnya. Kalaupun belum bisa mewujudkan perpustakaan pribadi, minimum menyisihkan anggaran untuk membeli buku yang disesuaikan usia anak. Bila penghasilan belum mencukupi mengajak anak-anak ke toko buku yang menyediakan ruangan untuk membaca, pameran buku, taman bacaan, perpustakaan umum yang tetap buka pada hari libur (Sabtu dan Minggu).

Tidak ada yang tidak mungkin di era yang serba digital ini, karena di smarphone pun sudah tersedia aplikasi untuk belajar membaca sejak usia dini. Mengenalkan membaca kepada anak sejak dini bukan bentuk eksploitasi anak, mengingat ketika masuk SD anak langsung mendapat pelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Apalagi materi pelajaran untuk anak kelas satu SD pun berisi cerita, bila anak belum bisa membaca, menulis dan berhitung (calistung) berarti akan menemui kesulitan ketika harus mengerjakan soal di kelas maupun di rumah.

Anak-anak adalah harapan bangsa ini untuk dapat menjadi orang yang unggul seperti BJ Habibie, dimulai dari kecil yang sudah mempunyai kegemaran membaca sesuai dengan usianya. Rasa ingin tahu itu dapat ditemukan melalui sumber-sumber yang dapat dipercaya seperti buku bacaan, atau orang tua yang mempunyai tingkat literasi tinggi. BJ Habibie sudah tiada, tetapi semangat membangun perpustakaan pribadi untuk keluarga Indonesia tidak pernah padam, agar SDM tangguh, mempunyai iptek dan imtak sehingga dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi lingkungan dan tanah airnya.  

Yogyakarta, 14 September 2019 Pukul 16.50




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline