Lihat ke Halaman Asli

Sri Rumani

TERVERIFIKASI

Pustakawan

Kepasrahan dalam Memenuhi Panggilan Haji

Diperbarui: 27 Agustus 2018   18:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Melaksanakan ibadah haji  itu hukumnya menjadi wajib untuk orang Islam yang mampu secara finansial, jasmani, dan rohani. Namun bukan berarti orang yang tidak mampu dari segi ekonomi  tetap dibolehkan mendaftar haji, asal mempunyai biaya untuk membayar ONH dari uang tabungan , hadiah, hibah, itu sah-sah saja.

Tidak sedikit calon jamaah haji yang pekerjaannya sebagai buruh tani, buruh gendong, tukang pijet, tukang bangunan, tukang tambal ban, tukang sayur, bahkan tukang bubur. Asal memenuhi syarat usia minimum 18 tahun atau sudah nikah, sehat jasmani, rohani, lahir dan batin.

Ketentuan sehat jasmani dan rohani menjadi penting karena ritual haji itu memerlukan daya juang fisik dan psikis. Bayangkan orang udik yang tidak pernah naik pesawat, jarang bepergian, apalagi mengenal tombol-tombol di pesawat, hotel, toilet, naik lift, eskalator itu penuh dengan cerita lucu.

Kesabaran, jiwa besar, ikhlas dari teman kelompok, sebagai relawan untuk mengajari dan menjelaskan fungsi alat-alat dengan bahasa mudah dipahami. Hal ini sebagai cobaan untuk tidak merasa jengkel apalagi menertawakan dan mengejek, statusnya sama sebagai jamaah calon haji. Diakui pemerintah dan BPIH sudah memberi simulasi, namun perasaan takut masih menyelimuti, dan untuk bertanya pun malu. Akibatnya sering terjadi, kran air panas yang diputar, karena benar-benar tidak memahami.

Tahun 2018 ini para jamaah didominasi lansia, dan mempunyai resiko tinggi (resti) karena penyakit tertentu, sehingga perlu tanda khusus sejak dari Indonesia agar petugas kesehatan dapat lebih memperhatikan. Dalam realita pelaksanaan ibadah haji semua harus dikerjakan sendiri, karena tidak dapat menggantungkan pada orang lain kecuali ada keluarganya yang mendampingi. 

Dalam  regu, walau ada relawan bukan berarti mencucikan baju, mengurusi keperluannya. Pernah satu regu ada lansia berangkat sendirian dan mungkin di rumah terbiasa memerintah orang, semua disiapkan, ketika haji "shock culture", akhirnya dirawat di RS dan dikembalikan sebelum waktunya. Idealnya  orang tua harus ada yang mendampingi dari keluarganya, tidak cukup "dititipkan" anggota regu, ketua regu (karu), ketua rombongan (karom), BPIH.

Keprasrahan, keikhlasan, menjadi modal utama dalam memenuhi panggilang haji. Pasrah dan ikhlas untuk berbaur dengan satu regu, satu rombongan, satu kloter tanpa merasa mempunyai ilmu, pangkat, jabatan, status sosial, kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain. 

Selama memenuhi panggilan haji semua status itu harus dilepaskan, apalagi saat memakai baju ihram yang putih bersih, hatinyapun harus bersih, tanpa ada rasa dendam, curiga, marah, pikiran negatif. 

Sungguh ini sangat berat perlu latihan, kebiasaan, apalagi untuk menahan ucapan, tindakan, tingkah laku, sikap yang baik dengan semua orang. Menghindari perdebatan, silang pendapat, saling menghormati, menghargai, tidak memaksakan kehendak. Semua sebagai hambaNya yang memenuhi panggilan sucinya untuk mendapat predikat haji mabrur.   

Selain itu tahun 2018 ini jamaah haji yang sedang menjalankan puncak haji di padang Arafah mendapat ujian hujan badai sejak menjelang Magrib sampai habis Isya waktu Arab Saudi. Gambar video badai di Arafah segera tersiar melalui ponsel para jamaah, dengan karpet beterbangan dan tenda roboh. 

Pasti berita ini membuat khawatir, cemas, sedih keluarganya, dapur untuk menyiapkan makan para jamaah yang paling parah. Artinya pendistribusian jatah makan untuk para jamaah agak terlambat, perlu kepasrahan, walaupun tidak separah "tragedi" kelaparan tahun 2006.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline