Lihat ke Halaman Asli

Mencegah Kasus Beras Busuk Terulang

Diperbarui: 7 Maret 2019   21:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Antara)

Masih ingat dengan temuan 6000 ton beras busuk di gudang Badan Urusan Logistik (Bulog) Sumatera Selatan? Miris rasanya mengingat beras sebanyak itu menumpuk dan terbuang begitu saja. Mubazir yang sangat kelewatan. Bila benar mubazir itu temannya setan, maka setan pun akan memusuhi manusia yang membuang beras sebanyak itu. 

Rujukan 1

Kini kasus 6000 ton beras busuk di Sumsel itu sedang masuk dalam ranah penyidikan hukum. Harus ada pihak yang bertanggung jawab atas kasus tersebut. Bisa dibayangkan, berapa banyak uang terbuang percuma untuk pengadaan beras sebanyak itu. Dan para petani pun bisa lebih sedih lagi. Bila waktu kecil kita sering diingatkan bahwa petani akan menangis manakala makanan kita bersisa, apa kabar petani yang tahu bahwa 6000 ton beras yang ditanamnya dengan susah payah, kini terbuang percuma? 

Ironisnya, belum tuntas kasus 6000 ton beras busuk di gudang Bulog, kini terdengar lagi ada 12 ribu ton beras yang masih menumpuk di gudang Bulog yang ada di Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan. Hingga kini beras itu masih belum dipastikan pendistribusiannya.

Penumpukan itu sendiri diakui Kepala Subdivre III Bulog, Jawa Timur. Berdasarkan penjelasan mereka, saat ini penyaluran beras di Bulog memang lambat. Itu karena pangsa pasar berkurang drastis. Sehingga, untuk mendistribusikan beras itu Bulog hanya mengandalkan operasi pasar (OP).

Rujukan 2

Tersendatnya penyaluran beras Bulog itu terjadi sejak dihilangkannya program beras sejahtera (rastra) oleh Kementerian Sosial (Kemensos) tahun lalu. Hitungan kasarnya, Bulog memang kehilangan 70 persen pangsa pasar. Sebab, selama ini Bulog hanya mengandalkan dari penyaluran rastra. 

Tidak banyaknya beras terdistribusi juga membuat penyerapan tidak bisa berjalan maksimal. Sebab, stok di gudang juga masih melimpah. Selain itu, harga gabah di tingkat petani saat ini tergolong tinggi. Yakni mencapai Rp 4.500 per kilogram (kg). Padahal, sesuai inpres Nomor 5/2015 harga pokok pembelian (HPP) gabah adalah Rp 3.700 ditambah 10 persen per kg. Kondisi itu membuat petani lebih memilih menjual gabahnya ke tengkulak. Selain itu, sejumlah mitra Bulog juga masih enggan menjual ke Bulog. Harga yang mahal juga membuat mereka menjual ke pihak lain. 

Semoga saja penyerapan beras petani bisa terjadi pada masa panen nanti, ketika harga turun dan Bulog bisa membeli sesuai ketentuan harga. Namun jangan sampai penyerapan beras tadi tidak diimbangi dengan pendistribusian stok yang ada di gudang. Karena mutu beras akan semakin berkurang bila dibiarkan teronggok di gudang. Nanti kasus 6000 ton beras busuk bisa terulang lagi. Dan kali ini, bahkan bisa lebih parah lagi. Karena stok yang ada di gudang Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan jumlahnya dua kali lipat dibanding Sumatera Selatan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline