Lihat ke Halaman Asli

Fitrah dan Memaknai Keragaman Bangsa

Diperbarui: 28 Mei 2019   01:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mungkin pada masa-masa inibanyak orang yang teringat mantanPresiden RI keempat, Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan Gus dur.Sisi paling menonjol dari seorang Gus Dur adalah sosok humanis dan pluralismenya.Tak heran di batunisannya, tertera tulisan : here rest a humanist.

Gus Dur mungkin memang dihadirkan oleh Alloh sebagai kado untuk  Indonesia soal pluralism dan kemanusiaan. Karena tak banyak  orang dengan kapasitas seorangagamawan, budayawan dan pemikir serta pengelola pondok pesantren seperti dia memperhatikan aspek-aspek Indonesia dengan irisan berbeda dengan yang lain.

Gus Dur sering memberikan alasan-alasan yang mungkin tak terpikirkan oleh kita semua. Pendapatnya soal penyanyi Inul yang dianggap vulgar misalnya oleh para ulama. Hal itu disikapi dengan santai oleh Gus Dur denngan menyodorkan pendapat bahwa bisa saja orang lain bersikap berbeda, dan dia mengajak untuk memaafkan orang-orang yang tidak pada koridor budaya kita tanpa "membunuh" orang itu, dalam hal pendapatan. Maksudnya adalah mengajak untuk memaklumkan fenomena seperti itu tapi tidak memberangusnya.

Selain itu Gus Dur juga sering punya pendapat dan visi jauh ke depan tentang sesuatu. Pandangannya soal korban peristiwa PKI 1965 misalnya. Dia pernah mengusulkan untuk meminta maaf kepada keluarga para korban 1965. Juga dukungannya terhadap aliran Islam yang berbeda dan cenderung ditolak oleh Indonesia yaitu Syiah dan Akmadiyah.

Gur Dur juga tak segan untuk turun sendiri guna membereskan persolan-persolan pluralisme. Kita tahu tidak semua lapisan masyarakat kita punya pemahaman yang baik soal perbedaan. Mungkin kita ingat ketika sekolah Sang Timur di wilayah Kebayoran  Lama Jakarta yang tidak disetujui keberadaannya oleh beberapa pihak di sekitarnya. Alasannya karena izin yang berlaku pada sekolah itu adalah institusi pendidikan padahal di sana juga terdapat gereja. Itu yang tidak disetujui masyarakat setempat. Padahal seringkali kompleks pendidikan Katolik seperti itu memang memperlengkapi dirinya dengan kapel (gereja kecil) tempat untuk beribadah anak-anak sekolah saat-saat tertentu.

Selama beberapa saat Gus Dur berdialog dengan penduduk setempat untuk menengahi persoalan itu. Tak lama, sekolah dan gereja didalamnya diizinkan beroperasi kembali oleh masyarakat.

Penulis tak ingin bercerita tentang Gus Dur lebih banyak, tapi mengajak untuk mengingat dan berfikir bahwa mungkin kini kita sadar bahwa tokoh seperti Gus Dur yang punya pemikiran-pikiran bernas sangat diperlukan untuk masa kini dimana orang sangat mempersoalkan kebinekaan sebagai suatu beban. Padahal jika kita ingat bahwa Indonesia dibangun atas dasar keberagaman suku, agama dan dan golongan.

Pada momentum menjelang Idul Fitri seperti sekarang ini, mungkin sebagian kita teringat pada kata dan makna fitrah. Yaitu kembali suci. Makna besarnya mungkin bisa kita atrikan sebagai kembali pada mula-mula, kembali ke asal, atau akar kita; manusia suci.

Sama halnya dengan Indonesia. Mungkin waktunya kita kembai ingat asal Indonesia yaitu keanekaragman budaya, suku, agama, ras dan sebagainya, yang akhir-akhir ini seakan dijauhi oleh sebagian besar dari kita. Karena itu mungkin pemikiran dan pandangan Gus Dur dapat membantu kita untuk menelaah kembali hakekat bangsa Indonesia dan bagaimana mensikapi keragaman itu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline