Lihat ke Halaman Asli

Media Sosial Harus Menjadi Agen Perdamaian

Diperbarui: 31 Juli 2017   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media Sosial - www.merdeka.com

Jika media massa menjadi bagian dari pilar demokrasi, maka media sosial harus menjadi agen perdamaian. Hal ini penting karena belakangan ini media sosial seringkali digunakan kelompok radikal dan teroris menyebarkan propaganda, merekrut anggota, bahkan hingga mencari dana. Semuanya itu bisa dilakukan melalui media sosial. Baru-baru ini, pemerintah Indonesia memblokir situs telegram, yang terbukti dijadikan jaringan teroris untuk melakukan koordinasi. Hampir semua rencana teror yang terjadi akhir-akhir ini, dibicarakan dan dikoordinasikan melalui situs telegram ini.

Sebelumnya, media sosial seperti youtube, facebook, hingga twitter juga menjadi langganan jaringan teroris untuk menebarkan teror. Mulai mengunggah pernyataan ancaman, hingga foto atau video eksekusi di Suriah, juga diunggah di media sosial. tidak hanya itu, jaringan teroris juga sering mengunggah video cara-cara merakit bom. Akibatnya semua orang, mulai dari anak-anak hingga dewasa bisa mengaksesnya. Dan kini, yang menjadi ancaman tidak hanya kelompok teroris itu sendiri, tapi juga masyarakat yang terpapar, yang mendadak menjadi radikal bisa melakukan aksi yang nekad.

Kasus penusukan anggota brimob di Masjid Falatehan beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwa pelaku tidak terkait dengan jaringan teroris. Pelaku juga mengaku mengendal radikalisme melalui media sosial. Hal ini tentu menjadi hal yang mengkhawatirkan. Media sosial yang awalnya bisa menjadi media untuk mencari teman, mencari informasi dan mencari hal-hal yang menyenangkan, kini telah berubah. Media sosial jugabisa berkontribusi terjadinya konflik di masyarakat. Tahun kemarin, kerusuhan yang berujung pada pembakaran tempat ibadah di Tanjung Balai Sumatera Utara, ternyata dipicu oleh provokasi media sosial. Ribuan bahkan jutaan manusia ikut 'panas' dalam pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu, juga terprovokasi melalui media sosial.

Hal ini menunjukkan bahwa media sosial juga mampu merubah seseorang yang biasa menjadi radikal. Tentu saja perubahan ini bisa terjadi, jika yang bersangkutan sudah mempunyai bibit-bibit radikal. Hampir semua pelaku terorisme yang tertangkap, juga mengaku mengenal radikalisme dari media sosial. Bahkan, sistem baiat yang mereka lakukan juga bisa secara online. Artinya, aksi terorisme yang terjadi saat ini begitu jeli memanfaatkan kecanggihan teknologi. Dan sadar atau tidak, media sosial akhir-akhir ini juga berkontribusi menyebarkan pesan provokatif itu.

Untuk itulah, para pemilik media sosial, para pemilik akun di media sosial, para masyarakat Indonesia yang sering beraktifitas di media sosial, mari bersama-sama menjadi agen perdamaian. Mari kita bersihkan media sosial yang selama ini diisi dengan ujaran kebencian. Mari kita kembalikan media sosial, sebagai media untuk mempererat persaudaraan, mencari teman dan berinteraksi secara sehat, tanpa harus ada kebencian. Mari kita perbanyak pesan damai, agar semua orang merasa adem, tidak mudah terprovokasi oleh janji-janji kelompok radikal.

Semuanya itu penting kita lakukan, untuk menyelamatkan generasi penerus agar tidak menjadi generasi yang radikal dan intoleran. Dan media sosial, harus bisa berkontribusi menjadi agen perdamaian, bagi kemaslahatan umat di dunia ini. Media sosial harus mampu mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik dan saling membenci, untuk saling menghargai dan tetap mengedepankan toleransi antar umat beragama.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline