Lihat ke Halaman Asli

Siwi W. Hadiprajitno

Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Alis

Diperbarui: 5 November 2019   00:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://d3t543lkaz1xy.cloudfront.net


Sekar Kinasih namanya. Rambutnya potong pendek, dengan poni sebatas alis, dan semacam cambang kecil di depan masing-masing dua telinganya. Rambutnya tidak seperti pepatah Jawa yang 'ngandan-andan'. Kulitnya tidak putih. Cenderung hitam manis. Di kedua lengannya, dekat ke jemarinya, dihiasi bulu tangan yang seperti arsiran pensil rapi ke arah luar. Aku suka mencuri-curi lihat diam-diam. Tingginya tidak semampai, cenderung kecil mungil, kurus dan tidak body gitar. Nah, alisnya.  Alisnya biasa saja. Tidak tipis tidak tebal. Tidak juga 'nanggal sepisan'. Tapi aku suka memandangnya lama-lama. Terutama pangkal alisnya di wilayah kening dekat dengan pangkal hidung yang agak random dengan helai-helai alis kesana-kemari.   Apalagi jika Sekar abis ambil air wudlu entah mau sembahyang atau sudah sembahyang. Alisnya ituu lhoo... setiap helai alisnya seakan-akan ikut berwudlu, basah kena air suci. Itu bikin aku deg-degan.  Biasanya aku nungguin dia dan alis indahnya itu di dekat mushalla dekat kantin di sebelah ruang praktikum Kimia kelas Fisika.  A1-2. Tetangga kelasku. Aku di Bio-7. Ibu lah yang mendorongku untuk ambil jurusan A2 karena beliau sangat ingin aku jadi dokter. Nggak taunya aku lebih suka buka usaha sendiri. Bukan salah Ibu, karena aku tahu Ibu selalu mencintai putra bungsunya ini lebih dari apapun. Dan aku turuti kehendak Ibu.

Kalau Sekar tahu sedang kukuntit, biasanya dia akan menciptratkan air wudlu di tangannya ke mukaku. Atau, dia akan bilang gini,

"Samuel, ngapain lo bengong di situ. Sana gih ambil air wudlu. Sholat ..." ujarnya sambil tergelak. Dia tau saya bukan muslim. Dia tau juga saya fans beratnya.

Biasanya saya nyengir sambil menjawab sekenanya.
Begini:

"Tapi boleh pinjem mukenamuu ..?"


Atau begini:
"Nggak ah lagi datang bulan.."


Atau begini:
"Udah tadi, digabung ama sembahyang Subuh"

Bila air wudlu Sekar mendarat di permukaan kulit mukaku, biasanya aku akan berujar apa saja dengan gaya teatrikal. Kadang sajak atau lirik lagu yang lagi sering kedengeran di radio. Dan aku tau, Sekar suka Rumi.

"Bukan hanya haus yang mencari aiirr...
Air punn mencari hauusss.
Maulana Jalaludin Rumi."

Biasanya, dia akan mendelik ke arahku, dan meletakkan telunjuknya di bibirnya sendiri. Itu adegan favoritku.

Sekar nggak pernah marah meskipun aku sering konyol seperti itu. Tidak, tidak. Kami bukan sepasang kekasih. Saya hanya mencintai (atau naksir atau menyukai) Sekar dengan cara saya. Kami juga tidak pacaran. Sekar tidak pernah menanggapi seluruh 'usaha'-ku. Tapi dia tetap Sekar yang baik. Yang manis dan cantik dan pintar. Dan aku maksimal hanya gusar namun nggak sampai sakit hati. Menurutku, dengan sebongkah besar kadar ke GR an yang 'kugembol' di dadaku Sekar lebih cukup tau diri (daripada aku) karena keyakinan kami berbeda. Hahaha.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline