Lihat ke Halaman Asli

Ambon Menuju Kota Literasi

Diperbarui: 6 Maret 2017   06:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kopdar Kompasianer Amboina/facebook Roesda Leikawa

 “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” – Pramoedya Ananta Teor

Mendadak terasa, di bagian awal tulisan ini, seorang pesohor, sekaliber Pramoedya Ananta Teor, tengah bangkit dan mewarta kepada kita. “Sepandai-pandai seseorang, tanpa ia bersentuhan dengan aktifitas menulis, sama saja, ia telah menenggelamkan dirinya sendiri dalam tatanan masyarakat dan terkubur di lembaran sejarah. Lebih lanjut, menurut Pram—kerab disapa. Menulis—literasi sebenarnya bekerja untuk keabadian.

Apa Itu Literasi?

Konsep literasi baru dikembangkan pada dasawarsa 1960-an (Sofia Valdivielso Gomez, 2008). Menurut kamus online Merriam Webster, literasi berasal dari istilah latin “literature” dan bahasa Inggris “letter”. Literasi merupakan kualitas atau kemampuan melek huruf atau aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis. Selain dari itu,  menurut Institute for literacy, literasi bermakna kemampuan individu untuk membaca, menulis, memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat.

Pada tingkat ini, diharapnya kemampuan literasi seseorang tidak hanya berkutat pada penyelesaian persoalan pribadi, tetapi berkenaan dengan penyelesaian persoalan keluaraga dan masyarakat. Sebab, pada dirinya, ia memerankan dua potensi sekaligus, yaitu sebagai makhluk individual dan makhluk sosial. Sejak zaman komunal primitif, manusia sudah terdorong dalam arena sosial. Tujuannya, segala kebutuhan dan persoalan terselesaikan bersama-sama.

Rendahnya kemampuan literasi bangsa, saat ini, berdampak pada daya saing bangsa dalam persaingan global. Oleh sebab itu, semeskinya segala kemampuan diarahkan demi terciptanya tumbuh geliat literasi. Dan, ini membutuhkan kerja kolektif, serta partisipasi semua pihak. Dengan ini, kehadihan Kompasianer Amboina dalam mengawal gerakan literasi di Maluku, sangat dipandang perlu. Mengingat, angka buta aksara di Maluku tahun 2012 yang dilansir www.kabartimur.co.idberjumlah 99,15 persen dan pada tahun 2013 mencapai 99,50 persen.

Bagaimana dengan syarat sebuah kota literasi? Syarat kota literasi, yakni semakin geliat tumbuh budaya membaca dan menulis, workshop membaca dan menulis, penyediaan buku bacaan gratis, perpustakaan warga, serta tumbuh kembang taman-taman baca. Dan ini, bukan semata pada tataran konsep, tetapi lebihpada perwujudan. Lantas apa yang sudah dilakukan Kompasianer Amboina?

Kerja Nyata Kompasianer Amboina Mewujudkan Maluku Kota Literasi

Kompasianer Amboina, dengan akronim KOMA merupakan salah satu komunitas di bawah naungan Kompasiana. Di mana, kompasiana merupakan sebuah media warga—citizen media, yang mengusung semangat berbagi dan saling berhubungan—connecting.Begitu juga KOMA, mengambil semangat ini sebagai spirit atas sejarah perubahan. Wabulkhusus, dalam mengawal gerakan literasi di Maluku.

Mengutip sebuah tulisan yang ditulis Roesda Leikawa, salah seorang admin KOMA, Kopdar Perdana di Pantai, Kompasianer Amboina Semakin Menggila (21/1/17), bahwa saat ini, KOMA bergerak dalam gerakan literasi di Maluku. Menjelang dua tahun ini, KOMA sudah sering melakukan roadshow ke kampus dan beberapa sekolah yang ada di Maluku, tidak hanya di pusat kota, namun KOMA juga bergeriliyah sampai pada perdesaan.

Desember 2016 lalu, KOMA mulai masuk di wilayah Kabupaten Maluku Tengah tepatnya di Desa Liang, Kecamatan Salahutu dan dusun Mamuah Kecamatan Leihitu. Hal ini dilakukan untuk mengajak masyarakat khususnya dalam dunia pendidikan bahwa betapa pentingnya literasi itu perlu dihidupkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline