Lihat ke Halaman Asli

Kepler

Diperbarui: 23 Desember 2016   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kisaran enam miliar tahun silam, kami sudah beranak-pinak di Kepler. Mengutuk siapa saja yang menolak cinta dan patuh pada tindak sadis—seperti inilah iman kami, manusia bersayap malaikat. 

Kepler yang kami tempati sekarang, merupakan sebuah planet dengan ukuran sepuluh persen lebih besar dari Bumi. Di Kepler, kami menggantung nasib pada rasi bintang tipe G—kepler 22b, yang lebih tua usianya dari matahari yang berusia empat koma enam miliar tahun. 

Kepler terletak sekitar lima ratus tahun cahaya dari konstelasi cygnus—suatu rasi bintang di belahan Utara. Selain itu, Keplar memiliki empat puluh delapan rasi bintang ptolemy dan juga satu dari delapan puluh delapan rasi bintang modern. Dengan rupa-rupa rasi ini, rasa takut tak bergelantungan di dalam diri kami.

Di Kepler kami mengimani Nakuwasa—sosok yang dipercaya sebagai Tuhan. Dua puluh tiga malaikat, dua puluh tujuh nabi, dan dua iblis. Maka, tak heran kerusakkan dan kejahatan nyaris tak bertempat tinggal di Kepler. Fanometan, sosok iblis sebagai penggoda di malam hari. Sedangkan Fanofutu, sosok iblis sebagai penggoda di siang hari. Tugasnya sederhana, yaitu mengusik cinta dan patuh pada tindak sadis. 

Tiap orang diberi sekali kesempatan tinggal di Kepler yang dikelilingi hamparan bunga-bunga berwarna putih dan kupu-kupu berwarna jingga. Kelak mereka patuh pada perang, maka tak segan-segan ditendang keluar dari Kepler. 

Selam enam miliar tahun, kami merasa damai di Kepler. Jauh sebelum manusia di Bumi, mengarahkan segala kemampuannya menjelajah ruang angkasa, memorak-porandakan planet kami. Lalu, memusnahkan peradaban kami.

Semua kerusakkan di awali dari hari itu. Tepat pagi masih perawan. Kami begitu sontak dibuat kaget dengan sebuah ledakkan yang mahadasyat, yang belum pernah kami dengar selama bermiliar-miliar tahun. 

“Mungkin ini sudah kiamat?”

“Ya, Nakuwasa. Kenapa secepat ini?” kami begitu percaya pada lisan Nakuwasa, seperti yang tertulis di dalam Tauzaiq—kitab suci kami. Bahwa kiamat pasti datang, entah kapan waktunya? 

Wajah-wajah tampak lesuh bergelantung. Kendati begitu ringkih, sebab sudah enam miliar tahun tak pernah ada orang mempunyai nyali mengusik kedamaian ataupun ketenangan di Kepler. Wajar saja, kami begitu keruan mendesah, memohon ampun pada Nakuwasa.

“Apakah ini pertanda Kiamat? Padahal cinta dan kemanusiaan masih basah di sini, bersama gerimis. Mungkin kematian telah datang memeluk kita bersama gelombang cinta, lalu menuju karib kita yang abadi?” ada yang menimpal serupa, sepertinya semerbak kantong darah mulai mengering. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline