Lihat ke Halaman Asli

Setyo Budiantoro

Percikan pemikiran tentang transformasi pembangunan

Kosmopolitanisme Ambyar Didi Kempot

Diperbarui: 5 Mei 2020   12:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tangkapan gambar dari Youtube saat konser musik

Bapak Patah Hati Nasional" (The Godfather of Brokenheart) adalah ikon dari Didi Kempot. Julukan itu tak mengherankan, karena lirik lagu campursari yang ditulisnya bercerita tentang kehilangan, kesedihan dan patah hati.

Lelehan air mata sambil bergoyang menyanyi, menghayati kepedihan patah hati sering mengiringi panggung Sang Godfather. Fans kepedihan hati Sang Maestro menamakan diri sebagai "Sobat Ambyar". Rasa hati ambyar, itu seperti nasi bungkus yang tiba-tiba putus tali karetnya di jalan.

Meski lagu Lord Didi Kempot berbahasa Jawa, namun jutaan penggemarnya seantero nusantara. Melalui musiknya, Sang Maestro telah merajut keberagaman. Dari Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga Papua penggemarnya melimpah ruah. Bahkan justru di Suriname awalnya Didi Kempot lebih terkenal, lalu baru merembet ke tanah air.

Sang Maestro juga merajut campursari (musik Jawa) mampu dipadukan dengan musik orkestra yang rumit, jazz, reggae, hip hop, dll. 

Di Youtube, para Sobat Ambyar bahkan mengadaptasi lagu Didi Kempot menjadi dangdut, rock, akustik, keroncong, bossanova, dll. Sang Maestro menginspirasi kebebasan berbudaya, kemerdekaan bermusik dengan berbagai variasinya. Bebas, lepas, ambyar..

Luar biasanya Didi Kempot bukan hanya karena mampu mengangkat musik campursari "pinggiran" ke pentas nusantara, atau kecanggihan berorkestrasi dengan musik lain, bukan itu. 

Dahsyatnya Sang Maestro, karena mendorong kosmopolitanisme budaya (bermusik). Inilah pembebasan budaya yang kosmopolitan. Budaya yang terbuka, menerima budaya (bermusik) lain dengan riang gembira. Inilah "kosmopolitanisme ambyar".

Dalam arus yang makin membesar dengan penyeragaman budaya dan penyingkiran perbedaan, para budayawan dan seniman tampaknya kini harus makin banyak yang turun gunung. 

Merekalah sebenarnya yang paling duluan terpasung bila arus itu mendominasi, karena seni membutuhkan kreativitas yang mensyaratkan kebebasan. Ketika politik, ekonomi dan agama memisahkan, seni dan budayalah yang perlu menyatukan.

Lihatlah Lord Didi Kempot, Sang Maestro ini telah merajut keberagaman. Berbagai suku bangsa atau strata sosial menyatu dalam keriangan. 

Indonesia memang perlu rileks dalam perbedaan. Ketegangan perbedaan telah membuat runcing dan kesalahpahaman. Semoga para seniman dan budayawan di seluruh tanah air akan makin mengekspresikan diri. Ketika kebebasan terancam mulai terenggut, para budayawan memang seharusnya segera bergerak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline