Lihat ke Halaman Asli

Sendy Ahmad Ghazali

Mahasiswa Sosiologi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Di Manakah Letak Kesetiaan Itu, Duhai Skriniar?

Diperbarui: 29 Januari 2023   11:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Milan Skriniar, itulah namanya, tertambat erat di dalam hati Interisti selama beberapa tahun belakangan ini. Aku adalah salah satu orang yang memuja namanya, menganggapnya sebagai dewa penyelamat Inter selepas masa kegelapan beberapa tahun yang lalu, masa yang dipenuhi caci maki dan juga kehampaan tanpa satu pun trofi di tangan. 

Teringat jelas di kepalaku beberapa tahun yang lalu, di sebuah halaman facebook bertemakan sepak bola, ada sebuah foto dengan narasi yang (katanya) diucapkan oleh Skriniar kala itu. Skriniar berkata, bahwa jika ia bisa memenangi Liga Champions bersama Inter, maka ia akan mengubah namanya di KTP menjadi INTER MILAN SKRINIAR. Terdengar romantis, bukan?

Maka tak salah bila kami selaku Interisti begitu memujanya, ialah yang mungkin pertama kali mengucapkan hal sebombastis itu. Tak hanya masalah perkataan, ia memang sejatinya hebat dalam segala aspek. Di lapangan, Skriniar adalah pahlawan revolusi Inter. Duetnya bersama Joao Miranda berhasil mengubah pertahanan Inter yang awalnya begitu bobrok menjadi sekuat batu karang. Di luar lapangan, ia juga berhasil membuktikan kesetiaannya. Pernah santer dikabarkan pindah ke klub lain, Skriniar kemudian memecat agennya demi bisa mempercepat perpanjangan kontrak bersama Inter.

Romantisme Skriniar dan Inter tak berhenti sampai di situ. Di suatu masa kala Antonio Conte berkuasa, Skriniar tak punya tempat di dalam strateginya, ia kesulitan untuk beradaptasi dengan skema tiga bek. Kehadiran Diego Godin, yang memang lebih berpengalaman, memperparah keadaan kala itu. Satu tahun ia habiskan hanya untuk menjadi pemain cadangan, plus, Skriniar gagal mencetak gol selama satu musim penuh. 

Satu musim yang mengerikan bagi dirinya. Meski begitu, ia tetap bertahan. Tahun kedua bersama Conte, Skriniar berhasil menjadi andalan. Sisi kanan Inter ia kawal hingga sulit ditembus penyerang tim lawan. Skriniar berhasil membuktikan kesetiaannya; bertahan meski harus mencoba skema baru yang menyulitkan, bertahan hingga ia bisa diandalkan.

Namun, kisah romantis antara Inter Milan dan Milan Skriniar tampaknya harus berakhir sampai di sini. Apalah arti kesetiaan di dunia sepak bola yang semakin terindustrialisasi, yang semakin terintegrasi dengan sistem kapitalisme, dengan pemainnya yang semakin menerapkan rasionalitas dalam pemikirannya. Cinta dan kesetiaan tidaklah cukup untuk membawa kejayaan, bertahan di Inter baginya mungkin tampak seperti kisah Harry Kane dengan Tottenham Hotspur. Tengoklah komposisi tim PSG, ada pemain terbaik dunia Lionel Messi, ada calon pemain terbaik dunia Kylian Mbappe, ada pemain termahal dunia Neymar, ada juga mantan terindah Inter, Achraf Hakimi. Bukankah wajar bila Skriniar disilaukan oleh hal ini?

Adalah haknya untuk menukar cinta dengan kejayaan. Wayne Rooney tak akan menjadi sehebat sekarang bila tetap bertahan di Everton, pun begitu dengan Skriniar. Bila yang ia kejar memanglah kejayaan, bila yang ia inginkan memanglah trofi, maka PSG adalah pilihan yang teramat sangat rasional untuk kemudian ia ambil dan jalani. Namun, bila kepergiannya terjadi dengan cara yang seperti ini, dengan meninggalkan kesan tak baik di hati Interisti, apakah engkau tak takut dengan kesialan yang mungkin mengikutimu, duhai Skriniar?

Tak ingatkah kau dengan Icardi? Ia meninggalkan Inter dengan segudang masalah, tengoklah ia kini, membusuk di Liga Turki! Tak ingatkah engkau dengan Lukaku? Inzaghi berusaha menahannya sebelum kembali ke Chelsea. Tak kurang rayuan manis kami ucapkan padanya, tak cukup belasan kali kami nyatakan pada dirinya, bahwa jika ia bertahan, maka ia akan menjadi raja di kota Milan. Lukaku tetap pergi, dan sekarang ia dibuang Chelsea dengan cedera yang terus mendera.

Jika engkau ingin pergi, maka pergilah dengan kasih sayang, pergilah dengan perasaan yang mengkristal. Seperti Hakimi yang pindah dengan hatinya yang tetap biru hitam, seperti Perisic yang tak membuat kegaduhan di tubuh tim, atau seperti Conte yang tetap mengingat masa jaya itu lewat unggahannya di media sosial. Pergilah dengan cara yang baik-baik, jangan pergi dengan drama bak Icardi versi kedua.

Adalah hakmu untuk menukar cinta dan kesetiaan dengan uang dan kejayaan, tapi adalah hak kami selaku Interisti untuk merasa kecewa dan terkhianati oleh kepergianmu yang seperti ini. Kau nyatakan cinta pada kami, kau nyatakan kesetiaan yang begitu manis di kala romansa itu masih berada di puncaknya, tapi kemudian kau campakkan kami demi si kaya dari Timur Tengah itu. Di manakah letak kesetiaan itu, duhai Skriniar?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline