Lihat ke Halaman Asli

Bintang yang Terbakar Obrolan Malam

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam masih bergegas dihiasi redup cahaya lampu bohlam gang sempit di utara Kota Bandung. Diantara ketergesa-gesaan malam inilah kami bersembunyi menghisap habis berbatang-batang tembakau. Di sebuah ruangan kerja yang dijejali tumpukan buku dan disesaki asap tembakau, disinilah biasanya kami bertemu setiap pekan untuk sekedar membuang penat dengan berbual tentang semuanya.

Kami adalah dua orang penikmat malam yang selalu kebanjiran inspirasi aneh di malam hari. Kawanku seorang perupa dan aku seorang pengumpul kata. Persahabatan kami dipertemukan oleh takdir yang beralaskan kain merah dan bintang keemasan. Lembaran fotokopian, pensil dan sobekan ampelas juga adalah sahabat yang paling sering menemani kami sampai sekarang. Selama barang itu masih ada, selama itulah kami terus bersahabat.

“Bung, Kau masih ingat obrolan kita dulu soal Persagi dan Sudjojono?” ujarnya

“O.. iya aku masih ingat beberapa sketsanya pernah kau koleksi... ada wacana baru apa tentangnya?”

Persagi dan Sudjojono adalah dua nama yang dulu sering kami bicarakan semasa kami masih mengalungi gelar mahasiswa di dua perguruan tinggi yang berbeda. Persagi atau Persatuan Ahli Gambar Indonesia adalah sebuah organisasi seniman di zaman pergerakan yang didirikan oleh seorang seniman yang juga menjadi anggota sebuah partai Kiri di masa lalu. Dulu kedua tema ini sering kami diskusikan sambil menggambari kain merah dengan lambang organisasi kami, kalau sudah jadi bisa disebut bendera, kalau beres dipakai demonstrasi biasanya kami sebut taplak meja.

“Tidak baru, soal pertentangannya dengan Basoeki Resobowo”

“O... Aku malah baru dengar, maklumlah tak banyak aku mendengar gosip para seniman”

“Ada satu hal yang mengusikku Bung, pertentangannya dengan Basoeki itu sangat miris, Sudjojonolah yang melakukan agitasi pada para seniman di tahun 1930an untuk mengabdikan karyanya pada perjuangan rakyat.”

“Ya, Persagi juga termasuk sebagai inisiator Lekra”

“Nah... itu dia! Basoeki Resobowo merasa Sudjojono tak adil, sementara ia menghabiskan masa hidupnya sebagai orang buangan karena peristiwa 65, Sudjojono diam saja”

Kawanku dulu sangat berapi-api jika berbicara soal Lekra dan segala pernak-perniknya, dari organisasi bentukan Lekra, para tokohnya hingga kutipan-kutipan sajak para penyair Lekra. Baginya Lekra bukan Cuma sejarah tapi juga sumber inspirasinya. Lukisan-lukisannya banyak dipengaruhi semangat Lekra dan seniman-seniman kiri setelah Lekra. Bahkan ketika di organisasi dulu kami menjulukinya “Seniman Merah”.

“Ngomong-ngomong soal Lekra, aku jadi ingat organisasi kita dulu Bung,... kini sayap seni budayanya malah jadi penerbit buku dengan puisi seadanya. Perupa hanya tersisa satu orang, seniman suaranya maju sendiri-sendiri, sebagian malah sudah hilang ditelan kapitalisme” ujarnya sambil menghisap dalam rokok kretek buatan tangan sendiri.

“Aku pikir wajar saja, toh organisasi kita dulu tidak seperti Lekra, kita membangun semuanya dari rangkaian percobaan dan kegagalan, setahuku tak satupun dari kita menjadi pewaris tradisi “Kiri Lama”, apalagi di bidang seni. Dulu kita buat ini dan itu tanpa panduan apapun, tanpa sentuhan para seniman, apalagi yang ke kiri-kiri-an. Mungkin dulu sebelum kita banyak, tapi saat kita berada di organisasi itu yang tersisa tinggal kenangan dan cerita-cerita kepahlawanan,... lagipula semua sudah kau tuangkan di skripsimu tentang Semsar”

Kami adalah generasi yang telah kehilangan momentum, pembaca sejarah dan pengagum para pelaku sejarah tanpa pernah terlibat dalam momentum bersejarah. Namun, setidaknya kami pernah menjadi bagian sebuah organisasi yang menghiasi sejarah. Peran kami didalamnya pun tidak istimewa karena waktu yang tersedia bagi kami juga tak istimewa. Bagaimana tidak, saat kelompok yang mendapatkan kejayaan dari darah dan air mata ini ikut merobohkan diktator yang angkuh kami masih sibuk bermain layangan dan mengenyot es bonbon.

“Haha... iya juga,... lantas bagaimana menurutmu mereka sekarang? Kudengar kau sesekali berkunjung kesana. Kau tahu kan kelompok itu sekarang sedang dimusuhi?”

“Ya,... Aku tahu itu... Aku berkunjung ke mereka hanya sebagai kawan lama... lagipula aku sering merasa sedang pulang kampung jika bertemu dengan mereka”

Kawanku lebih dulu hengkang dari organisasi, Sementara aku masih bertahan hingga setahun kemudian. Sejak saat itu kami memang tak pernah lagi berhubungan dengan anggota organisasi itu, setidak hingga dua bulan yang lalu ketika aku mengunjungi Ibukota.

“Ah... kau bisa saja,... selama kita berada di dalam kelompok itu kaulah yang paling sering mengkritik para pimpinan kelompok, kau juga yang selalu jadi sasaran kritik mereka. Baru dua tahun kau absen dari pertempuran sudah berubah saja cara berpkirmu...”

“Tidak juga,... kita telah memilih jalan kita, kita tahu alasan dan konsekuensinya, kembali menggabungkan diri pun sama saja seperti menelan ludah sendiri. Pendirianku belum berubah hingga sekarang. Ketidaksetujuanku sering kutuangkan dalam tulisan ataupun obrolan dengan mereka.”

“Lantas apa yang membuatmu bernostalgia dengan mereka?...”

Pertanyaan kawanku mendorongku ke jurang ingatan, nostalgia, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku.

“Menurutku mereka sedang dalam keadaan kritis, nyawanya lepas dari tubuh satu demi satu. Para nyawa itu menubuhkan dirinya dalam tubuh yang lain melawan kelompok, sebagian lagi menelanjanginya, sebagian lainnya ingin melampauinya sementara kelompok semakin melemah” jawabku

“Bukannya itu hukum sejarah, tak ada yang bertahan selamanya... Lagipula apa kau bisa memercayai kelompok ini sekarang dengan segala tindak-tanduk dan lompatan zigzag yang mereka buat?” sanggahnya sembari menyulut sebatang rokok kretek.

Sanggahan kawanku ada benarnya, banyak manuver organisasi itu yang berseberangan dengan pikiranku. Namun, apa mau dikata, bagiku organisasi itu memang sumur kenangan yang tak pernah kering. Meski airnya tak sesegar mata air pegunungan, sumur itulah yang dulu melepasku dari dahaga.

“Semua yang solid akan menguap ke udara, Memang begitulah hukum semesta. Organisasi itu pun tak luput dari hukum semesta. Tapi Bung, Aku mendengar mereka, mendengar dari kawan-kawan yang telah meninggalkan mereka segala keluh kesah, dendam dan ingatannya. Meski organisasi ini tak lagi kujadikan pegangan namun simbolnya adalah milik kita semua, semua yang masih bergerak didalamnya, dan semua yang pernah bergerak di dalamnya. Mungkin secara organisasional tak lagi sekuat di masa-masa gemilang, namun toh kita pun tak pernah merasakan masa gemilang itu, Cuma ingatan yang kita dengar.”

“Maksudmu apa? Kenapa malah bernostalgia dengan simbol? Semasa kita didalam kelompok pun kita tak percaya simbol”

“Bohong! Kita percaya simbol, manusia percaya simbol. Simbol itulah yang merepresentasikan pikiran dan semangat kita. Kau jelas tahu lukisan goa para manusi pra sejarah, lekukan surrealis Picasso, wajah-wajah gelisah Semsar semua itu simbolisasi realitas. Organisasi ini boleh runtuh, namun keyakinannya harus tetap bertahan, dengan bentuk apapun, cara apapun dan kemasan apapun. Entah bagimu tapi bagiku simbol itu masih memberiku nyawa dan sederet kenangan, tak perduli meski kita tak ada di masa gemilang. Menurutku, tak jadi soal posisi politik kita berbeda namun tak perlu memusuhi mereka yang masih bertahan.”

Mendengar jawabanku, kawanku semakin bersemangat memendamkan kepalaku pada lumpur pertanyaan. Sejenak ia mgerenyitkan dahi, memikirkan jawabanku yang baginya masih tak memuaskan. Ia kembali menyiapkan pertanyaan untuk mendapatkan penjelasan yang memuaskan.

“Lantas bagaimana dengan yang lain, kawan-kawan yang juga hengkang dan berseberangan dari organisasi kita dulu?” tanyanya.

“Aku juga mendukung mereka, kita dan mereka berasal dari rahim yang sama dengan tujuan yang sama, rahim Bintang yang Terbakar. Aku berhenti mengidentifikasikan diri sebagai “Aku”, “Dia”dan “Mereka”. Bagiku bukan kita yang “Nyata” tapi semaangatnyalah yang nyata. Semangat kesetaraan dan perjuangan yang bergaung diseluruh dunia.” Jawabku.

Pertanyaannya terus menggempurku, akupun terus menghujanimya dengan berbagai jawaban. Tak terasa malam semakin larut diaduk oleh obrolan kami yang tak jelas ujung pangkalnya. riuh rendah jalanan kota ini sudah tak lagi terdengar.

“Yah jika itu sikapmu aku tak berhak menghakimi, tapi boleh kan sikapku tetap berbeda denganmu”

“Tak apa, sejak dulu cara pandang kita selalu berbeda meski yang dipandang adalah satu entitas yang sama. Toh kita adalah sahabat dalam perjuangan dan keyakinan, perbedaan cara pandanglah yang masih membuat kita menyempatkan waktu untuk berbual seperti saat ini”

“Kalau itu aku sepakat denganmu.... hahahha”

Sehabis meneguk dua gelas kopi, kami mengakhiri obrolan kami yang belum selesai. Tak pernah ada isu yang selesai dibicarakan hanya penat yang luntur disapu kata-kata yang terlontar sembarangan. Hanya panduan waktu yang dihasilkan oleh malam ini, obrolan berikutnya di akhir minggu ini kami berencana mengajak cukil, papan dan tinta cetak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline