Lihat ke Halaman Asli

Selvia Indrayani

Guru, penulis, wirausaha, beauty consultant.

Waisak Mengingatkan Bahwa Kesederhanaan Bukan Penderitaan

Diperbarui: 26 Mei 2021   21:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Patung Buddha

Hari ini umat Buddha merayakan hari Raya Waisak.  Sebelum pandemi Covid-19, peristiwa perayaan Waisak berpusat di Candi Borobudur. Biasanya umat Buddha berkumpul untuk merayakan tiga peristiwa penting dalam ajaran Buddha.

Trisuci Waisak merupakan istilah yang kerap digunakan untuk menyebut perayaan Waisak. Peringatan  Trisuci Waisak merupakan rangkaian peringatan tiga peristiwa suci, yaitu kelahiran Pangeran Siddharta Gautama, saat petapa Gautama mencapai penerangan sempurna, dan Hari Pari Nibbana Buddha Sakyamuni. 

Siddharta Gautama sebagai pendiri dan penyebar agama Buddha. Ia menjadi sosok penting dalam kelahiran Buddha yang terkenal dengan welas asih dan kesederhanaannya. 

Sejarah Buddha

Pada awalnya, Siddharta Gautama adalah seorang pangeran. Ia lahir dengan segala kecukupan dan terkenal sebagai anak yang cerdas. Berbagai ilmu pengetahuan telah dipelajarinya sejak usia tujuh tahun.

Sang ayah menjaga Siddharta dengan memerintahkan pelayan agar melayani segala kebutuhan duniawinya. Harapan sang ayah, Siddharta tidak meninggalkan istana dan ada yang menggantikan pewaris kerajaannya.  Ia tidak ingin putranya menjadi menjadi Buddha seperti yang telah diramalkan oleh para petapa.

Di usianya yang ke-16, Siddharta menikah dengan putri Yasodhara setelah berhasil memenangkan sayembara. Ia pun menjalani kehidupan rumah tangga.

Suatu hari Siddharta berjalan-jalan ke luar istana. Saat itulah ia menemui empat hal yang tidak pernah dijumpainya dan merupakan larangan. Keempat hal tersebut yaitu orang tua, orang sakit, orang mati, dan orang suci. Peristiwa tersebut membuat hatinya gundah. Ia mengalami pergolakan batin akan hal-hal yang ditemuinya.

Tepat di saat usia 29 tahun, di saat putra tunggalnya lahir, Siddharta memutuskan untuk melakukan pengembaraan dengan ditemani oleh kusirnya. Ia mulai berguru untuk menemukan jawaban atas kegundahan hatinya. Walaupun sudah berguru dan melakukan bertapa, Ia belum mampu menemukan hakikat dan tujuan dari pertapaan. 

Suatu hari, Siddharta mendengar sebuah syair yang menggugah hatinya. Syair tersebut menjadi jawaban atas pertapaannya. Hingga ia memutuskan untuk mandi ke sungai.

Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu.

Siddharta kembali melanjutkan meditasi di bawah pohon Bodhi. Ia akhirnya mendapatkan pencerahan sempurna dan menjadi Samyaksam Buddha (mencapai Nirwana dengan usaha sendiri).  Peristiwa ini tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline