Lihat ke Halaman Asli

Sang Santri

Santri suka menulis

Saya dan Nahwu

Diperbarui: 10 Desember 2018   06:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saya belajar nahwu sudah sejak kelas 1 mts. Waktu itu yang dibaca nahwu jurumiyah. Awal kelas tiga kitab ini sudahh saya khatamkan. Tapi sayang saya tidak paham sama sekali pembahasan yang ada didalamnya. Yang saya tahu hanya konsep idofah yang dijelaskan guru saya sebagai pergabungan 2 kata yang membuat makna baru. Kepala dan sekolah menjadi kepala sekolah. Penjelasan yang ini saya paham akan tetapi dalam nahwu ada sekian banyak hal yang perlu dipahami yang artinya keilmuan saya waktu itu benar2 nol.

Aliyah saya pindah di sekolah yang lebih bergengsi dalam nahwu sorof. Saya disana punya tekad pula " lulus harus bisa  nahwu shorof, baca kitab,"begitu ucap saya dalam hati. Tujuan ini Membuatku berjuang lebih keras dalam belajar nahwu. Menghafal nadhom gramatikal nahwu dan mendengar dengan sek sama dawuh guru-guru.

Sayangnya saya terlalu tergesa-gesa.  Nahwu yang dipakai di sana terlampau tinggi  untuk saya pahami. Ibnu aqil sebagai materi utama disana bukan lah kitab sembarang kitab. Kitab ini dikaji oleh para murid yang sudah mumpuni karena pembahasannya yang lebih detail dan mengemukakan beberapa pendapat yang berbeda. Saya waktu ituemang sok sokan. 

Karena merasa sudah 3 tahun mondok jadi tak mau lagi jika harus ikut dikelas persiapan. Tekadku memang terkabul. Tapi hasilnya belajar tanpa pondasi  seperti ini membuatku kesulitan dalam memahami ucapan. Guru. Kalaupun paham berikutnya banyak yang cepat terhilang.

Kelas 2 aliyyah semangatku yang membara pudar karna suatu hal. Masa pubertas menuntun saya mencari-cari tambatan hati yang akhirnya membuat saya abai akan pendidikan. Begitu juga didalamnya nahwu. Sepanjang 2 semester pada kelas 2  saya harus menerima kenyataan saya hancur dalam hal akademik. 

Peringkat benar- benar merosot. Membuat saya harus menahan malu menghadapkan nilai didepan orang tua. Dasar, memang selalu wanita racun dunia.

Untung peringkat itu mampu menjadi shock terapis untukku dalam belajar nahwu. Tekat saya membara lebih keras dan langkah saya lebih mantap dari sebelumnya. Saya di kelas tiga beralih ke bangku yang terdepan sebagai wujud semangat belajar nahwu. 

Setiapkali murid lain pergi keluar atau mengobrol diwaktu istirahat saya lebih memilih membaca buku sulamuttashil yangerupakan buku terjemah jawa alfiah ibnu malik. Bukan cuma itu, setelah saya pulang dari sekolah saya juga menambah belajar di diniyyah aekitar jam 2 sampai jam 4 shore. 

Pagipun saya sempatkan ikut ngaji ibnu aqil yang diampu yai aniq nafisah. Wal hasil di kelas tiga ini full 1 tahun itu saya gunakan untuk belajar dan belajar. yang salah satunya adalah nahwu yang menjadi pondasi utama dalam pembelajaran pesantren.

Ada satu moment yang biasa menjadi suatu wahana uji keahlian dalam ilmu kepesantrenan. Termasuk didalamnya nahwu.  seperti tahun2 sebelumnya pondok kami mengadakan bashul masail yang dilakukan hanya ditingkat regional pondok. 

Pada waktu itu para ahli bashul masail mengeluarkan hujjah-hujjahnya dengan nahwu yang  dipraktekkan tertata rapih dan jelas dalam membaca kitab. semua orang diam memperhatikan mereka mengambil panggungnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline