Lihat ke Halaman Asli

Sandi Dwi Prasetyo

Mahasiswa Universitas Airlangga

Antara Rokok dan Masa Depan Indonesia

Diperbarui: 27 Mei 2022   14:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi perokok. Sumber: Pexels.com/Craig Adderley

Siapa sih yang tidak mengenal rokok, apalagi di negeri tercinta, Indonesia ini. Dari anak balita hingga lansia pasti mengenalnya. Rokok dijual bebas tanpa pengawasan. Rokok sangat mudah dijumpai di toko kelontong, swalayan, hingga supermarket. Pantas saja, Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat perokok tertinggi di dunia. Indonesia dihuni sekitar 70 juta perokok dengan persentase di bawah 18 tahun sebesar 3,69 persen dan di atas 15 tahun sebesar 28,96 persen [1,2].

Padahal, dalam kemasannya sudah ada peringatan mengenai bahaya rokok seperti menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan lain-lain. Namun, ironis tulisan itu alih-alih seperti “hantu” yang tak kasat mata. Rokok ibarat seperti makanan beracun yang dijual dengan bebas meskipun sudah diketahui sederet bahayanya. Poster pencegahan rokok juga serupa. Rokok adalah gudang bahan-bahan kimia berbahaya, begitulah isi berbagai poster pencegahan merokok. Namun, hal itu tidak digubris.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa rokok membunuh lebih dari 8 juta orang setiap tahunnya dengan lebih dari 7 juta kematian perokok aktif dan sekitar 1,2 juta kematian akibat menjadi perokok pasif [3]. Merokok menyebabkan risiko munculnya penyakit, seperti penyakit kardiovaskuler, kanker, dan paru. Tiga penyakit itu termasuk penyakit yang mudah “membunuh” seseorang.

Kemunculan penyakit tersebut disebabkan oleh asap rokok itu sendiri. Asap rokok dihirup oleh perokok itu sendiri dan orang di sekitarnya. Asap rokok mengandung sekitar 70 bahan karsinogenik atau penyebab kanker yang di antaranya adalah nikotin, zat pembersih (asetaldehida, formaldehida), arsenik, logam berbahaya, zat radioaktif (polonium-210), gas-gas beracun (1,3-butadiena, PAH), dan lainnya [4]. Dari hal itu pun, merokok terbukti merugikan kesehatan. Namun, pengguna rokok tetap tinggi.

Dominansi perokok Indonesia adalah orang dewasa yang dikelilingi anak usia muda hingga remaja. Padahal anak muda dan remaja tersebut adalah pilar bangsa ini di usia tuanya. Namun pada masa mudanya sudah menjadi perokok pasif. Ingat pernyataan 1,2 juta kematian perokok pasif, ya, tentunya mengejutkan mengingat mereka hanya ikut menghirup saja, tidak merokok. Namun jangan salah, perokok pasif adalah “silent killer” atau pembunuh diam. Anak muda dan remaja tersebut dapat mengalami berbagai efek.

Penelitian membuktikan bahwa nikotin dapat masuk ke otak perokok pasif seperti halnya pada perokok aktif [5]. Seperti yang telah kita ketahui, nikotin adalah zat adiktif yang menyebabkan ketergantungan. Maka, paparan asap rokok itu akan menyebabkan adanya adiksi pada perokok pasif, khususnya anak-anak yang meningkatkan kemungkinan anak-anak menjadi perokok. Hal ini jelas menunjukkan bahwa angka perokok akan makin tinggi dan menjadi PR bangsa untuk melepaskan mereka dari yang namanya jeratan asap rokok tersebut nantinya.

Selain adiksi nikotin, menjadi perokok pasif apalagi pada anak muda juga menyebabkan kerentanan terhadap penyakit. Anak muda yang menjadi perokok pasif lebih cenderung napas pendek, lebih sulit berolahraga dibandingkan sebayanya, batuk kering di malam hari, dan lebih mudah sakit sesuai hasil penelitian [6]. Ditemukan juga mereka lebih cenderung memiliki infeksi telinga, penyakit pernapasan (batuk, bersin, napas pendek), dan infeksi saluran pernafasan bawah akut (bronkitis dan pneumonia) [7].

Belum lagi anak-anak dan remaja yang merokok. Meskipun didapatkan angka kecil, yaitu untuk perokok di bawah 18 tahun sebesar 3,69 persen, sekitar 10 juta penduduk Indonesia. 10 juta ini juga merupakan pilar bangsa ke depannya. Begitu buruk dampak-dampak tersebut, lantas bagaimana masa depan bangsa ini apabila pilar bangsa masa depannya ke depannya performanya turun. Apabila hal tersebut terus berlangsung, bangsa kita dapat menjadi bangsa yang lemah nantinya.

Sebagai dampak dari penurunan kesehatan, merokok mempengaruhi ekonomi makro Indonesia. Seperti yang kita ketahui, saat akan merokok akan mengeluarkan biaya untuk beli. Lalu, juga apabila muncul penyakit akibat merokok, akan mengeluarkan biaya pelayanan kesehatan. 

Apalagi, produktivitas orang tersebut juga akan menurun. Kosen et al. (2017) melakukan estimasi seberapa besar ekonomi makro yang hilang pada 2015 dan didapatkan angka 596,61 triliun rupiah meliputi biaya beli rokok, kerugian akibat penurunan usia produktif, dan biaya perawatan kesehatan  [8].

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline