Lihat ke Halaman Asli

Ganda Samson

Hidup Matinya Seorang Penulis

Kudeta Myanmar dan Briefing Pancasila

Diperbarui: 12 Maret 2021   18:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Seorang Yahudi Ortodox pernah menyeru kepada saya, "Bukankah Asia Tenggara satu-satunya kawasan yang tidak melahirkan seorangpun nabi? Mengapa Anda heran jika wilayah itu selalu bergolak?" Sebagai manusia Asia Tenggara yang pernah mengikuti penelusuran sejarah lisan kawasan ini, saya kecut hati. Tetapi soalannya bukan mengenai perasaan saya dan gejolak yang dimaksud sang rabbi.

***

Setelah konfirmasi tentang sebuah peristiwa kudeta merebak, biasanya banyak media internasional memberi ulasan cukup komprehensif. Tetapi tidak kali ini. Saya menduga, mungkin karena analisis tentang Myanmar belum lama menyeruak akibat persoalan Rohingya. Tetapi benarkah demikian?

***

Bagi Burma (sekarang: Myanmar), U Nu dan U Than adalah 'George Washington' dan 'Thomas Jefferson', seperti juga Sukarno di Indonesia. Tetapi Burma dijejali terlalu banyak suku dan etnis, entah sebagai 'pribumi' maupun 'pendatang sukarela' atau 'pendatang penumpang'.  Sehingga, kendati kharisma kedua bapak bangsa Burma itu melampaui tokoh-tokoh lain di Asia Tenggara, mereka tetap membutuhkan serdadu untuk menarik batas antar-etnis. Masalahnya, etnis mana yang harusnya paling dominan mengisi markas-markas infanteri? Proporsional kah? Maka, melalui Jenderal Aung San, profil dan jatidiri serdadu Burma pun segera dibentuk, bahkan secara ideologis.      

Tetapi sang jenderal tidak panjang umur. Pemilu pun segera digelar, dengan harapan angkatan bersenjata bentukan ayahanda Syu Ki itu menjadi pilar ke-III. Tetapi sejak 1962 seorang jenderal pemimpin baru telah meletuskan senjata di depan rumah perdana menteri untuk menegaskan bahwa militer tidak begitu saja menerima hasil-hasil demokrasi populis. Bukannya menolak Trisula Sistem Republik, sang pemimpin baru juga melihat pemerintahan sipil tidak memiliki konsep jelas tentang Welfare State.

Tetapi hampir dapat dipastikan, Burma di bawah junta militer merupakan oligarki paling kasat mata di Asia Tenggara sebagaimana negara lain di kawasan ini.

Gerakan massa meningkat sejak 1980. Sebagian besar pengamat melihat gerakan itu meniru Revolusi Islam Iran (1979). Tetapi persoalannya, mayoritas Rakyat Burma adalah penganut Buddhisme, sedangkan tetangga-tetangga mereka juga menolak demonstrasi liar. Puncaknya, tahun 1988 pemilu digelar lagi dan partai bentukan Aung San Syu Ki memenangkan suara mayoritas.

Sekali lagi serdadu menolak hasil pemilu kendati Syu Ki adalah putri biologis sekaligus putri ideologis bapak tentara Burma. Sejak itu pula Syu Ki menjadi tahanan rumah, berpisah dari suami, dan menerima Hadiah Nobel Perdamaian dari tahanan. Sementara di lain pihak, pembungkaman Syu Ki selama lebih dari 25 tahun justru mengangkat pamor Jenderal Than Swee dan Dr. Maung Maung (ini nama benaran lho, bukan pemberian Bobotoh Persib Bandung) ke panggung politik Asia Tenggara. Duet penguasa itu menghasilkan stabilitas keamanan cukup panjang, pertumbuhan ekonomi yang relatif meyakinkan dan mampu mendorong mental berprestasi masyarakat Burma (Istilah Maslow: n' Ach). Penguasa-penguasa baru juga mengubah Burma menjadi Myanmar serta memindahkan ibukota Yangoon ke Naypithaw.

***

Khazanah Sosiologi Politik menyebutkan, pada dekade pertengahan 1970 hingga akhir 1980an Myanmar berhasil mengubah diri dari State Breakdown menjadi Development State. Dan berdasarkan sejarah singkat di atas, ditemukan beberapa faktor yang menentukan perubahan (baik) tersebut:

  • Jika sebuah masyarakat harus dihindarkan dari ideologi Komunis, maka biarkanlah militer (secara khusus Angkatan Darat) menjadi penguasanya. Korea Selatan dan Indonesia menjadi contoh lain yang sejajar. 
  • Jika sebuah masyarakat harus 'diangkat' menjadi negara makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan, biarkanlah rezim militer melakukan cara apapun demi memastikan bahwa produksi, konsumsi dan distribusi berjalan baik, pun dengan keuntungan yang hanya diketahui oleh kelompok militer itu sendiri.
  • Dimanapun Demokrasi dijalankan, tidak ada artinya jika rakyat merasa tidak puas secara ekonomi dan mampu menggerakkan kemampuan aslinya.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline