Lihat ke Halaman Asli

Quran, dan kesimpangsiuran berita mengenainya.

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Heboh klaim Borobudur yang lalu, membuat tulisan ini akhirnya sepertinya perlu. Ummat islam sering bersuara bahwa untuk bangkit dan berdiri, ummat perlu berpegang pada Quran. Dengan bermodalkan semangat, banyak sekali yang memaparkan isi al Quran dengan berbagai versi. Ada versi Science (ataupun pseudo science), ada yang versi bisnis, ada versi Mistik, versi filsafat barat, berbagai versi, dan semuanya berusaha menawarkan solusi (ataupun tidak).

Akan tetapi, kawan-kawan yang mencoba menafsirkan Quran ini, karena tidak berdasarkan ulumul Quran,atau ilmu al Quran, pada akhirnya, yang didapat bukanlah isi al Quran seperti yang diangan-angankan, tetapi isi dari khayalan sang penafsir sendiri.

Hal ini sama saja dengan mencoba mengurai rumus phytagoras dengan ilmu kebidanan. Yang terjadi bukanlah uraian mengenai phytagoras, akan tetapi tebak-tebak manggis dan paksa-sambung. Sama seperti halnya mencoba mengurai Quran, tanpa ilmu mengenai tafsir al Quran. Yang terjadi, bukanlah mendapatkan isi Al Quran sebagai tuntunan hidup, akan tetapi khayalan kosong belaka. Wajar ketika sang penafsir, (dan yang mengikutinya) bukanlah mendapatkan isi Al Quran, akan tetapi isi dari khayalan sang penafsir sendiri.

Hal ini diperburuk dengan kenyataan bahwa gelar keislaman di sebagian tempat di negeri ini, demikian mudah diperoleh, cukup memiliki banyak pengikut, maka disematkanlah -oleh pengikutnya/media- gelar KH, tak seperti dahulu, gelar hanya bisa didapatkan melalui pengakuan dari sekian kiai/ulama yang sudah ada (NU jawa tengah misalnya, dari kiai sepuh), dan memerlukan persyaratan keilmuan tertentu untuk bisa diakui. Gelar ustadz pun dengan mudah disandang oleh siapapun yang sudah sekian kali berbicara tentang islam dimuka umum, tak lagi mengharuskan penyandangnya memiliki ilmu tertentu (ilmu Quran atau Hadist), atau tak usah lagi ditasbihkan oleh kiai.

Jadi, meskipun bergelar ini dan itu, seorang KH penafsir Quran, atau Ustadz penafsir Quran bisa jadi tidak punya ilmu Quran sama-sekali. Beda dengan Ayatullah misalnya. Karena di Iran sana, gelar Ayatullah ya seperti gelar kiai jaman dulu disini. Harus ditasbihkan melalui suatu ujian oleh sekian ayatullah sepuh (eh, udzma maaf) dan memiliki ijazah tersendiri.

Kembali lagi pada para penafsir Quran yang memakai ilmu selain ilmu al Quran itu. Dengan semua niat baik itu, malangnya, bukannya dia mendapatkan kemasyhuran, akan tetapi mendapatkan 'karma', bahwa yang memaksakan pendapatnya pada al Quran, akan didorong pada kehinaan dunia, belum lagi di akhirat. Yang perlu dikasihani, bukan hanya sang penafsir, tapi juga para pengikut, bahkan, Quran juga perlu dikasihani, karena jadi terlihat buruk, berkat terseret-seret keburukan tafsiran sang penafsir.

Lalu apakah mereka yang berkata bahwa ummat islam akan selamat apabila berpegang pada Quran itu salah? Tentu tidak. Asalkan, yang dipegang itu benar-benar isi al Quran, yang dipahami lewat tafsir al Quran yang berdasarkan ilmu ulumul Quran.Lalu memang isi al Quran itu apa? Misi al Quran itu apa? Mengapa bisa menyelamatkan diri dari kecelakaan dunia dan akhirat?

Saat ini, demikian jauh umat islam dari al Quran, hingga yang mengetahui misinya, amatlah sedikit. Yang dibayangkan kebanyakan kita ketika mendengar kata 'Quran diterapkan di kehidupan sehari-hari' adalah hukum potong tangan, pemisahan perempuan dan laki-laki, dan pemaksaan jilbab terhadap semua orang tanpa kecuali (mungkin kecuali yang berkumis atau berjenggot).

Untuk mengetahuinya, kita harus bertanya dulu pada Rasul, sebenarnya untuk apa dia dijadikan Rasul? Maka beliau menjawab 'sesungguhnya aku ini diutus terutama untuk memperbaiki akhlaq'. Lalu apakah akhlaq Rasul? Sudah demikian masyhur jawaban dari pertanyaan ini. Akhlaq Rasul adalah al Quran.

Isi ayat al Quran sendiri, mayoritas justru bukan mengenai fiqh atau hukum seperti yang disangka banyak orang, akan tetapi kebanyakan mengenai akhlaq, tersurat maupun tersirat dalam kisah-kisah. Bahkan, ayat-ayat fiqh seperti haji, shalat dan zakatpun selalu dikait-kaitkan dengan akhlaq. Tentu yang harus dilihat adalah keseluruhan Quran, dari depan sampai belakang, bukan hanya juz amma :).

Akhlaq apa saja? Akhlaq terhadap diri sendiri, seperti kebersihan diri (fisik dan hati), akhlaq terhadap orang tua, akhlaq terhadap orang lain, seperti menjaga amanah, akhlaq terhadap Allah, seperti selalu menyadari akan keberadaanNya, dst.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline