Lihat ke Halaman Asli

Rudy Subagio

TERVERIFIKASI

Just ordinary people, photograph and outdoors enthusiast, business and strategy learner..

Terdampak Pandemi, Merintis Usaha Sendiri atau Membeli Waralaba?

Diperbarui: 21 September 2021   22:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi waralaba yang berjejer. (sumber: pixabay.com/rahulpandit)

Pandemi yang sudah memasuki tahun kedua dan belum ada tanda-tanda akan berakhir ditambah lagi dengan pemberlakuan PPKM yang berjilid-jilid membuat sektor industri terutama pariwisata dan perhotelan semakin terpuruk. 

Imbasnya ekonomi menjadi stagnan sehingga semakin banyak perusahaan yang memberhentikan karyawannya atau karyawan tersebut yang mengundurkan diri secara sukarela.

Bagi karyawan yang diberhentikan atau mengundurkan diri, pilihannya adalah mencari pekerjaan baru di perusahaan lain atau memulai usaha sendiri. Namun dengan kondisi saat ini mencari pekerjaan baru tampaknya bukan pilihan yang mudah.

Dengan demikian banyak orang yang mencoba untuk memulai usaha sendiri. Memulai usaha sendiri merupakan keputusan yang sulit, seringkali keputusan ini terpaksa diambil karena tidak ada pilihan lain. 

Ada sebagian orang yang memang mempunyai kemauan dan kemampuan yang kuat untuk memulai usaha sendiri namun sebagaian besar tidak siap dan tidak berani memulai.

Untuk memulai usaha sendiri ada dua pilihan, yang pertama adalah merintis usaha sendiri baik memulai dari awal atau mengambil alih usaha yang sudah berjalan dan yang kedua adalah membeli sistem waralaba. 

Setiap pilihan mempunyai resiko dan prospek keuntungan masing-masing, dan konsekuensi dari pilihan tersebut tidak bisa dihindari.

Bila kita memilih untuk merintis usaha sendiri maka hal pertama yang harus dimiliki adalah gairah dan antusiasme untuk membesarkan bisnis dari awal hingga sukses. 

Banyak orang ketika melihat sebuah bisnis yang sukses seperti warung, resto atau toko yang laris mereka berpikir, "Saya ingin memiliki bisnis seperti ini!". 

Sampai mereka menyadari bahwa mereka tidak cocok menangani rutinitas dalam mengelola persediaan, karyawan, pelanggan, atau menghabiskan 60 atau 70 jam seminggu di restoran baru mereka selama satu atau dua tahun... atau bahkan tiga tahun. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline