Lihat ke Halaman Asli

Perkenalan Tanpa Jabat Tangan

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pada mulanya adalah muak, lalu pemberontakan.

* * *

Apa yang subversif tak melulu hadir dalam sarkasme yang berteriak atau molotov yang di lempar. Ia, lebih jauh, kerap kali hadir dalam sebuah lelucon. Di Indonesia, lakon subversif dengan jenaka menjadi deretan episode grup lawak legendaris Warkop DKI.

Jargon yang kerap kali hadir dalam akhir film mereka menyiratkan secara implisit hal subversif tersebut:"Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang"; sebuah tamparan keras terhadap sebuah rezim yang presidennya telah menjadi sebuah "institusi" tersendiri di negara ini. Lelucon dan tertawa adalah sebuah simbol lain tentang ketermenungan, ketika kita sadar bahwa harapan kian sempit, tentang impian yang ternyata makin mustahil atau tentang nihilsme yang marah.

Syahdan, sebuah "Negara" tercatat (pernah) memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 18 agustus 1995 di sebuah studio seni lukis, lantai dua Fakultas Seni Rupa dan Desain – Institut Teknologi Bandung (FSRD – ITB). Dan untuk menandai "proklamasi" tersebut--sebagaimana layaknya proklamasi di simbolisasi--di cipta sebuah lagu.

“Tetaplah semangat, jangan lupa makan. Bujuklah temanmu, kuasai dunia. Kuasai lingkungan, sebarkan ajaran. Dunia yang asyik, nakal wibawa. Jayalah selalu the Panasdalam, hebatlah pengikutnya. Jayalah selalu the Panasdalam, mantaplah penghuninya. Buatlah tetangga, ingin seperti kita, luwes lancar orsinil dan tahan lama. Buktikan pada dunia, siapakah kita. Jangan jadi the losser, tapi the winner.”

"Negara Kesatuan" yang luas wilayahnya ditentukan cukup dengan menderetkan beberapa buah penggaris itu, "Negara Kesatuan" yang, mengutip Kuntowijoyo: "meluas dalam ruang, melebar dalam waktu", dimana susah atau senang dirayakan dengan bersama-sama, akhirnya dengan musyawarah yang takzim dan mufakat erat, memilih Pidi Baiq sebagai "imam besar"-nya (dialah yang pada waktu itu berdiri diatas meja persegi empat dan membacakan teks proklamasi).

Ketika memproklamirkan "Negara"-nya, sang "imam besar" berseru:

“Mencintai sebuah negara yang bukan lagi menjadi milik bangsanya, tetapi sudah menjadi milik sebuah keluarga di Jakarta, adalah mencintai siapa yang menjadi pemiliknya. Dan apabila kita membencinya, ini celaka maka kita akan dengan begitu mudah dianggap sudah membenci siapa pemiliknya, lalu ditangkap, lalu kena skorsing.”

Lalu sebuah era pertama pun dimulai...

Pemilihan istilah "imam besar" yang mengacu kepada jabatan "kepala negara" sebenarnya sebuah konsekuensi logis, dimana Pidi Baiq, saat itu, dianggap sebagai seorang "haji mabrur". Dan apabila anggapan di masa lampau tersebut adalah doa, maka ia adalah doa yang mujarab, karena sekarang, pada detik ini, Pidi Baiq adalah haji dengan predikat mabrur sesungguhnya: rajin ibadah, beramal dan menolong sesama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline