Lihat ke Halaman Asli

Rony K. Pratama

Peneliti Pendidikan di Yogyakarta

Menyoal Sekolah Rujukan Taruna Nusantara

Diperbarui: 6 Oktober 2016   10:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Buat Mas Muhammad Ibrahim (Om Baim)
di SMA Taruna Nusantara

RELASI pemerintah dan sekolah tak sekadar urusan birokrasi. Sebagai dua komponen yang terintegrasi, keduanya memiliki garis instruksi dan koordinasi dalam pelbagai hal. Pemerintah sebagai subjek memosisikan diri sebagai pengambil kebijakan yang berdampak pada sekolah di tingkat daerah. Sementara sekolah, sebagai objek, menempatkan diri secara strategis dalam merealisasikan kebijakan pemerintah. Baik subjek maupun objek membentuk suatu garis linier yang resiprokal.


Akhir tahun 2015 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kebijakan sekolah rujukan yang berimplikasi pada pengembangan kualitas sekolah. Pemerintah menunjuk beberapa sekolah di tiap daerah di Indonesia untuk melakukan peningkatan mutu, karena ia diharapkan menjadi rujukan primer para lulusan siswa terbaik. Kendati demikian, peran pemerintah tak hanya mengucurkan finansial semata, melainkan juga memantau, membimbing, dan mengevaluasi jalannya proses peningkatan kualitas sekolah.


Bagi sekolah yang ditunjuk, tantangan terbesar antara lain menyinergikan kualitas akademik maupun non akademik. Hal tersebut sesuai dengan paradigma pendidikan modern yang mengutamakan keberhasilan kompetensi siswa sehingga unggul dalam kompetisi global. Kompetensi siswa dapat dibuktikan secara numerik di atas kalkulasi angka di buku rapor. Namun, ia masih dalam ruang lingkup kognitif. Karena itu, penyeimbang kompetensi kognitif yang tak boleh diacuhkan di antaranya keaktifan siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler.


Pemerintah tak serampangan memilih sekolah yang dipercaya sebagai sekolah rujukan. Ketercapaian sekolah tersebut dalam pengembangan dua komponen akademik maupun non akademik merupakan salah satu faktornya. Dua komponen itu menjadi parameter rujukan bagi calon siswa mendatang untuk mempertimbangkan apakah sekolah yang hendak dipilihnya berkualitas atau tidak. Di lain pihak, desiminasi keunggulan sekolah juga berdampak pada dialog interaktif antara pihak sekolah dengan masyarakat. Oleh karenanya, siswa—atau masyarakat secara luas—dapat memilih dan memilah keunggulan sekolah berdasarkan dua komponen yang ditampilkan.


Ihwal pemilihan sekolah rujukan oleh pemerintah dapat juga berdampak buruk bagi sekolah lain yang “dianggap” tak sesuai standar. Kondisi demikian tanpa sadar mendesak sekolah yang “terpinggirkan” semakin terancam keberadaannya di antara arus persaingan. Dengan kata lain, ada diskriminasi sistematis yang dilakukan pemerintah: mengunggulkan sekolah yang ditunjuk dan mengalienasikan sekolah berkualitas buruk.


Meskipun demikian, kondisi tersebut juga dapat menghela sekolah “yang terpinggirkan” untuk memerbaiki kualitasnya lebih baik. Ini tantangan berat, namun dengan alokasi APBN maupun APBD pendidikan yang sama nominalnya, seharusnya ia mampu mengejar ketertinggalan atau meningkatkan kualitasnya lebih baik. Oleh sebab itu, “komunikasi akademik” antarsekolah maupun dengan pemerintah demi menggapai sekolah rujukan terbuka selebar-lebarnya bagi sekolah di mana pun.

Taruna Nusantara
KEPERCAYAAN pemerintah kepada SMA Taruna Nusantara telah dimulai menjelang tahun 90-an. Ia berdiri atas buah pikiran Jenderal L.B. Moerdani di tahun 1985 di bawah Pendopo Agung Tamansiswa, Yogyakarta. Kepercayaan itu berpuncak pada dipilihnya SMA Taruna Nusantara sebagai sekolah rujukan berbasis tri wawasan kebangsaan, kejuangan, dan kebudayaan. Pertimbangan prestasi ilmiah maupun olahraga di kancah lokal, nasional, dan internasional menjadi parameter pemerintah dalam memutuskan penunjukan itu.


Kebijakan sekolah rujukan tak bisa dipisahkan dengan peran kementerian lain. Sebagai sekolah ala militer, SMA Taruna Nusantara diharapkan menjalin kerja sama dengan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. Bentuk relasi tersebut dapat berupa pembinaan kepribadian yang berwawasan Pancasila. Akan tetapi, pembinaan itu senantiasa merujuk pada tri wawasan yang “disakralkan” SMA Taruna Nusantara sejak lampau.


Sekolah rujukan taruna nusantara dapat menjadi jawaban strategis kegelisahan bangsa dalam konteks bela negara. Ia juga sebagai antitesis terhadap dekadensi generasi muda yang kini mencapai titik puncak. Di tengah pergolakan ketahanan bangsa yang semakin runyam, SMA Taruna Nusantara hadir untuk menawarkan pendidikan terbaik yang bermuara menyiapkan generasi matang dalam berpikir maju, bermoral dalam tindakan, dan loyalitas pada bangsa dan negara. Pencapaian itu tidaklah mudah. Berikut merupakan strategi mewujudkan kualitas siswa hasil sekolah rujukan taruna nusantara melalui tri wawasan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline