Lihat ke Halaman Asli

Kebijakan Komunikasi di Bidang Media Cetak II (Tahun 1945 - 2020)

Diperbarui: 21 Maret 2021   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Masa Orde Lama

Pada masa Orde Lama, ketentuan pers yang berisi tentang peraturan yang membatasi gerak pers (seperti pengawasan represif dan sensor preventif yang ada pada masa kolonial Belanda) telah dicabut. 

Pencabutan ini tertuang dalam UU Nomor 16 tentang Sarana Publikasi dan Komunikasi. Kemudian pada 2 Agustus 1954 diterbitkan UU No. 23 Tahun 1954 (Lembaran Negara 54-77) tentang penghapusan Persbreidel Ordonantie. 

Penghapusan ini dilakukan karena tidak sesuai dengan pasal 19 UUDS. Penghapusan ini juga dilatarbelakangi oleh perjuangan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Walaupun Persbreidel Ordonantie dihapuskan, melalui Kepala Staf Angkatan Darat, pemerintah mengeluarkan peraturan yang dimaksudkan untuk mengekang kebebasan pers yaitu Peraturan No. PKM/001/0/1956 pada 14 September 1956. Namun karena peraturan tersebut mirip dengan Haatzai Artikelen, peraturan ini kemudian menuai protes dari PWI dan pada 28 November 1957 peraturan ini dicabut oleh KASAD Mayor Jenderal A.H Nasution.

Pers pada masa ini memberitakan tentang pertikaian antar partai politik,  sehingga kemudian dikeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1963 tentang Pembinaan Pers. 

Pada bab II Pasal 6 dari peraturan ini disebutkan bahwa surat kabar dan majalah harus memiliki izin terbit terlebih dahulu dan berlaku sampai tahun 1966. Selain itu, Pers yang menentang Ideologi Nasakom juga akan dibredel. Hal ini berlangsung sampai keruntuhan pemerintahan Orde Lama.

Masa Orde Baru

Pada awal masa orde baru, kehidupan Pers Indonesia mulai mendapat kebebasan. Pers masa orde baru sering disebut dengan istilah Pers Pancasila dengan hakikat pers yang sehat, bebas, bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi, serta dapat menjadi jembatan aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. 

Selain itu, terdapat UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers yang menyatakan bahwa pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan dan kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara serta penerbitan tidak memerlukan surat izin. 

Namun pada kenyataannya, penerbitan surat kabar masih dikontrol dengan kewajiban memiliki dua izin, yaitu Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari lembaga keamanan militer KOPKAMTIB.

Kebebasan Pers mulai menghilang dan kembali ke era orde lama ketika terjadi peristiwa Malapetaka Limabelas Januari atau Malari pada 15 Januari 1974. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline