Lihat ke Halaman Asli

Rizqi Rizal

Tulisan bebas || Blog pribadi

Islam Nusantara, Sebuah Faham atau Kebiasaan?

Diperbarui: 17 Juli 2018   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Islam nusantara niku nopo, kyai ?" Tanya seorang petani kampung kepada kyai.

"Iku lho, le'e awamu panen ketelo iku iso dadi kripik, tepung, telo goreng, gethuk, minyak, sembarang" jawab kyai.

"Seng mboten nusantara ?"

"Mangan telo mentah-mentah sak kulite. Mabuk kabeh. Sebab telo digoreng kui bid'ah".

   Cerita tersebut merupakan analogi sederhana dari DR. KH. Luqman Hakim dalam kicauannya dalam tweeter beberapa waktu lalu. Tentu saja kita tidak bisa memaknai cerita tersebut secara kontekstualnya saja, karena cerita tersebut hanya lah sebuah analagi yg dikemas dalam sebuah guyonan. Juga karena agama itu keyakinan, dan makanan (dalam analogi cerita tersebut) merupakan selera. Agama bukan lah sebuah selera.

   Islam nusantara, yg kerap kali dikaitkan juga dengan budaya keNUan seperti tahlilan, ziarah kubur dan lain lain ini juga tidak serta merta diterima begitu saja oleh semua lapisan masyarakat. Ada pula golongan atau kalangan yg tidak setuju atau bisa dibilang kontra dengan `faham` yg disebut sebagai islam nusantara dgn berbagai macam alasan yang mana salah satunya ialah bid'ah (amalan yg tidak pernah dilakukan oleh rosulullah).

   Mungkin, hal ini pula lah yg menjadikan negeri kita ini mengalami ketertinggalan. Disaat negara lain sedang giat giatnya melakukan pembangunan, negeri kita justru masih sibuk memperdebatkan perkara bid'ah, mengkafirkan sana sini dan memperebutkan mana golongan yang paling benar. Ironi.

   Hemat penulis, jika memang tidak berkenan dengan amalan yang berbau keNUan atau sebutan islam nusantara, jangan buru-buru gegabah mengkafirkan atau memberi stempel bid'ah pada setiap orang yang melakukan tahlilan, ziarah kubur dan lain-lain dengan alasan tidak pernah dilakukan oleh Nabi.SAW. Jika memang tidak mau dengan amalannya tidak perlu mengkafirkan. Jika tidak mau mau ziarah kubur, tidak perlu mengatakan bid'ah.

Kalau tidak mau ziarah kubur, its fine, tapi tidak perlu sampai mengatakan bid'ah. Mungkin orang orang semacam ini yg terlalu kolot dalam menanggapi atau menolak ziarah kubur nanti ketika meninggal dikubur di trotoar, supaya tidak ada yg menziarahi(!?)

Jika tidak mau mendo'aahi orang yang sudah meninggal (dengan alasan do'anya tidak akan sampai karena sudah 'selesai urusannya'), tidak perlu mengatakan orang yang melakukan tahlilan atau mendo'akan orang yang sudah meninggal dengan sebutan kafir, parah sekali. Penulis juga yakin jika orang yang mengatakan demikian tidak mau dido'akan masuk neraka kelak ketika meninggal dunia walaupun dia berkeyakinan do'anya tidak akan sampai kepada dia.

   Demikian, dalam sebuah riwayat, pernah suatu ketika Rosulullah SAW disajikan makanan oleh sayyidah Aisyah RA, tetapi beliau tidak menyukai makanan tersebut, lantas Rosullullah langsung pergi meninggalkannya tanpa sepatah kata pun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline