Lihat ke Halaman Asli

Rizki Muhammad Iqbal

Suka makan ikan tongkol

Puisi | Tentang Tuhan yang Kita Nikmati

Diperbarui: 24 Januari 2020   02:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Picture by Stevecutts.com

Di titik ini, aku takkan lagi terusik oleh kata-kata dominan, yang menguasai panggung permainan; demi kepentingan dan kesenangan dalam ruang-ruang kesementaraan.

Di titik ini, aku takkan lagi mengobati sakit lebam; membiru, hingga menghitam. Terpukullah dinding-dinding jaman; terpentallah arus peradaban; tersayatlah hati kita, Sayang.

Kita bukanlah sepasang argumen yang terlontar dari mulut sang kritis; membuat hati orang tergores dan menangis. Kita bukanlah sepasang manusia yang beradu untuk memberi; mengasihi; mengobati; menguasai diri sendiri. Kita makin terpisah pada jarak yang terbentang; pada interaksi yang hampir padam. Masa di mana dunia keseluruhan dipenuhi oleh hasrat kepantasan.

Tibalah kita di masa yang dulu diungkap dalam angan-angan, tentang hari depan, tentang bagaimana orang-orang terlihat kasih dan mencintai melalui media story

Tibalah kita di masa tentang hari jadi, dan hari lahir, terulang kembali dalam ingatan; melalui kado ungkapan dan rasa cinta semu, tipu-tipu, yang terungkap di dalam substansi media.

Tibalah kita pada masa di mana doa-doa yang dikhidmatkan menjelang pengakuan; doa yang diupayakan sebagai pembentuk asumsi orang, tentang keberadaan diri kita; tentang apa yang kita angkat dalam media sebagai ciri karakter manusia; sebagai sifat amerta; sebagai rasa cinta dan kasih, yang bahkan, kefanaan telah menjelma menjadi realita, dan sia-sia tak menemui ujungnya.

Kita, manusia, dan sifat-sifat kekudusan, telah ditenggelamkan oleh jaman; kesucian hanya timbul melalui pengakuan. Ketika orang-orang acuh, kesucian tak lagi bernilai.

Masa di mana suara dominan merupakan sebuah kebenaran; masa di mana satu arah arus telah mengelabui kita; keseragaman yang membunuh perasaan kita, dan cinta yang telah ditebarkan ke mana saja demi kepentingan yang membunuh cinta sebenar-benarnya. Apa yang kita upayakan bukanlah sebuah kebutuhan, dan kebetulan semacam ini telah berlabuh di ujung malam; lagu yang dulu kita dengarkan, kita nikmati dan agung-agungkan, kini telah mati oleh sebuah kenaifan. 

Sebuah kedangkalan yang disembunyikan; sebuah arus lurus yang tak menoleh ke arah manapun; sebuah sumber-sumber yang kita buang tuk kita benci; sebuah Tuhan yang kita buang dalam asumsi kita sendiri; hanya demi Tuhan baru yang kita nikmati. Perihal kebajikan semu dan ketergantungan pada massa, pembentuk karakter diri dan sifat asli yang terbuang hingga mati; perihal fana dan realita yang basi; hingga Tuhan baru yang kita ciptakan tuk dinikmati; perihal keangkuhan, demi sebuah keberadaan, hari demi hari dilewati. 

Kepada sang surya, sang langit, sang alam, dan euforia alam semesta, kudengungkan bait-bait sayu: Bahwa kita hidup dalam ketidaksadaran; kepalsuan yang dinikmati dalam kematian yang menjijikkan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline