Lihat ke Halaman Asli

Segurat Wajah Secangkir Isi Hati

Diperbarui: 22 Agustus 2023   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

istockphoto.com

Niki memperhatikan satu persatu cerita yang bergulir di depannya. Cerita yang berseliweran di linimasanya. Ia menghitung, ada 4-5 kisah yang sungguhan. Bahkan 6 dan 7. Mengapa ia katakan sungguhan, sebab memang demikianlah adanya. Ia menjadi saksi hidup dari ke-6 dan ke7 kisah tadi. Ia bertemu dan bercakap-cakap dengan mereka. Ia mengamati intonasi dan gestur mereka satu-satu.  Semuanya bercerita dan melakoni apa adanya. Tidak ada pencitraan di sana. Tujuh orang tadi adalah kawan-kawan dan sahabatnya. Mereka mengejar apa yang mereka inginkan. Mereka memperjuangkannya, dan mendapatkannya. Shifa adalah salah satunya. Ia, mantan mahasiswanya. Sarjana Bahasa Indonesia yang sukses menjadi jurnalis kawakan di usianya yang masih muda.

***

Niki menghempaskan tubuhnya di sofa beludru. Lalu nafas menderu. Perlahan ia tarik nafas, tahan, lalu menghembuskan keluar. Ia tak pernah semarah ini pada seseorang. 

Pangkal soalnya adalah ketika mbak Citra dengan terang-terangan mengatakan, raut wajahnya mengindikasikan sifat tertentu. Tiba-tiba ia seperti ditarik ke masa silam. 

Kala itu, beberapa mahasiswanya saling berdebat tentang jurnalistik. Yang satu bersikukuh bahwa teorilah yang paling penting. Sementara yang lain mengatakan kalau prakteklah yang paling penting. Kubu kedua ini dipegang erat-erat oleh Shifa, yang bekerja sambilan sebagai jurnalis kampus. Bidang studinya sendiri Bahasa. 

Tetapi kubu pertama, yang digawangi Anisa, membully pilihan Shifa. Ia mula-mula meledek pilihan mahasiswi Bahasa itu sebagai pragmatis. Tapi lama-lama Anisa menghinanya, kalau wajah Shifa kurang elok untuk keluar masuk kantor pemerintahan untuk mengejar berita. Kalau televisi menyorotmu Shif, kata Anisa, itu mengganggu pemandangan.

Shitttt, body shamming, pekik Niki.

Tapi kala itu belum muncul terma ini. Anisa sudah menghina Shifa. Si jurnalis kampus itu diam saja. Tetapi Niki yang tidak bisa diam. Ia menghardik Anisa dan melarang gadis itu ikut kegiatan debat atau diskusi apapun itu yang diprakarsainya, sebelum meminta maaf kepada Shifa.

Tapi Anisa mengelak. Ia berdalih, wajah Shifa memang tidak enak dilihat katanya. Well, sejak itu Niki mencoret nama Anisa dalam setiap kegiatan apapun yang ia selengarakan. Niki  belum menemukan apa jenis dosa yang dilakukan Anisa, termasuk kecamuk perasaannya terhadap sikap Anisa kepada Shifa. Hanya hati nuranilah yang mendorongnya untuk 'menghukum' Anissa.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline