Lihat ke Halaman Asli

Di Balik Sarung Lusuh

Diperbarui: 22 November 2016   16:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: willingservantministries.org

Siang itu klakson bersahutan di jalanan depan rumah kami. Angin tak juga bergerak menambah beban listrik karena mesin cuci akan bekerja sesering mungkin. Betti - istriku, dia wanita yang sering mengeluhkan bau badanku jika baju yang kukenakan telah menjadi sarang keringat-keringat siangku.

Aku duduk di ruang tengah sambil menjejalkan beberapa kue kering ke dalam mulutku. Sementara di sampingku Betti sibuk menjahit sarungku yang sobek kemarin malam. Di depan kami ada sebuah TV berukuran 20 inchi sedang menayangkan demo besar-besaran pada si kafir yang sempat salah bicara – atau menurut Betti itu hanya karena pendemo yang kurang sukses untuk mencernanya.

Aku menikmatinya, membiarkan bibirku mengoceh tak jelas sambil menunggui pendapat istriku, wanita itu bisa aku andalkan dalam segala hal kecuali memasak. Bahkan aku terpaksa sering lembur untuk menambah pemasukan dana konsumsi harian kami.

“Keren ya, Ti!”
“Apanya Mas?”
“Makanya kamu tonton TV-nya. Ngapain kamu itu di depan TV malah fokus sama jahitan.”
“Rewel.”

Istriku menjawab dengan nada jengkel. Aku sengaja mengajaknya ribut siang ini. Rumah ini akan sepi saat Betti sibuk dengan dunianya sendiri.

“Benar! Demo seperti itu adalah jihad! Itu untuk NKRI!”

Istriku memilih diam dan tak menyuarakan pendapatnya. Aku mengalihkan kembali perhatianku pada televisi yang menyiarkan rencana aksi lanjutan pada bulan depan yang katanya akan memblokir jalanan.

“Jalanan memang harus diblokir! Yang terpenting si kafir di bui!”
“Penemu televisi yang kamu tonton setiap hari itu orang kafir lho, Bang.”
“Darimana kamu tahu?”
“Bahkan aku pesan sofa yang kita duduki ini dari tokonya orang Budha di seberang jalan.”
“Kok kamu tahu?”
“Aku memang tahu lebih banyak darimu.”

Istriku mulai memberikan pendapatnya. Dia tarik benang itu hingga patah lalu ia tali untuk mengunci jahitannya itu. Sangat rapi, pikirku dalam hati. Wanita itu tidak cantik untuk ukuran pak Lurah sepertiku. Seharusnya aku memilih yang lebih cantik lagi, namun yang bersedia hidup denganku sejak aku miskin dulu hanyalah si Betti. Dengan begitu aku tak memiliki alasan lain untuk berpoligami, meski kadang aku ingin empat atau bahkan lima. Yang satu menyapu, satu mengepel, satu memasak, satu mencuci baju, dan si Betti hanya bertugas di kamar menemaniku.

“Masukkan ini! Ngelamunin apa kamu itu, Bang?”

Ia menyodorkan benang dan jarum padaku. Aku masukkan pelan-pelan dan ia mulai menjahit lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline