Lihat ke Halaman Asli

Rijo Tobing

TERVERIFIKASI

Novelis

Sekali Menulis Dua Ribu Kata, Mengapa Tidak?

Diperbarui: 4 Oktober 2020   12:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Saya menemukan satu hal menarik dalam percakapan di grup Whatsapp pada hari ini. Salah seorang teman membagi tulisannya yang berisi seribu delapan ratus kata ke dalam dua tulisan karena menurutnya tulisan itu terlalu panjang. Saya sontak jadi berpikir: sebenarnya apa tolak ukur sebuah tulisan dikatakan, atau dirasakan, panjang atau pendek?

Apakah dari jumlah kata?

Apakah dari uraian yang terlalu bertele-tele?

Apakah dari topiknya yang tidak sesuai minat pembaca?

Atau dari apa?

Mengapa saya menjadikan pertanyaan ini pertanyaan bagi diri sendiri?

Dalam tiga bulan terakhir, setiap tulisan yang saya setorkan ke KLIP mengandung rata-rata lebih dari seribu kata. Data tepatnya saya tidak ingat dan sejujurnya saya tidak pernah menjadikan jumlah kata sebagai target. 

Menulis ya menulis, tak masalah berapa kata yang pada akhirnya terekam. Setelah saya pikir-pikir, saya menulis banyak kata untuk tulisan fiksi (bisa dimaklumi karena tergantung pada imajinasi saat itu), dan juga tulisan nonfiksi. Mengapa bisa demikian?

Menulis banyak kata hanya bisa dilakukan jika kita memiliki banyak hal yang ingin disampaikan. Menulis banyak kata tidak bertujuan untuk memanjang-manjangkan dan membuat tulisan tersebut kehilangan arah.

Teknik bercerita secukupnya tetap perlu diaplikasikan tanpa mempedulikan jumlah kata. Teknik bercerita secukupnya berarti senantiasa bergerak dari struktur pembuka ke isi dan pada akhirnya ke penutup di dalam sebuah tulisan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline