Lihat ke Halaman Asli

Rifky Bagas Nugrahanto

Pegawai Negeri Sipil

Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan agar Krisis Tak Lagi Terulang

Diperbarui: 23 Juni 2019   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.idntimes.com

Sebagai masyarakat umum, sering kita mendengar pemberitaan dalam hal moneter baik di media cetak maupun daring. Seperti saat ini, adanya wacana dari Bank Indonesia untuk melakukan penurunan suku bunga pasar dan merilis kebijakan akomodatif yaitu melalui penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 basis poin (bps) sedikit banyak menarik perhatian masyarakat (CNBC, 2019). 

Selain itu, banyak upaya-upaya dalam bidang stabilitas keuangan seperti kebijakan makroprudensial maupun mikroprudensial yang berjalan beriringan antara Bank Indonesia dan juga Otoritas Jasa Keuangan (OJK), semua itu dilakukan pemerintah untuk menjaga kinerja sektor keuangan yang secara langsung akan mempengaruhi perekonomian dunia.

Masa krisis keuangan puncak tahun 1998 pun tak ingin diulang kembali. Melihat pertengahan tahun 1997, dengan terjadinya krisis nilai tukar rupiah yang meluas, sangat memberatkan sektor keuangan kala itu. 

Sepanjang tahun 1998, rupiah terdepresiasi dengan lebih dari 70% pada titik nilai tukar mencapai Rp14.700 per US$, yang mencapai puncaknya pada bulan Juli 1998. Tahun 1997 Product Domestic Bruto (PDB) tumbuh sebesar 4,7% dan berkontraksi hingga minus 13,1% di tahun 1998.

Awal inflasi yang sudah tinggi berkisar 8,1%  antara tahun 1991 hingga 1996, pada tahun 1998 meningkat tajam menjadi 77,6%, yang sebagian besar berasal dari barang-barang yang diperdagangkan secara internasional. 

Upaya yang terus gagal dalam menahan laju depresiasi rupiah, membuat Bank Indonesia pada bulan Juli 1998 menaikkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) satu bulan hingga 70 %. Pada tahun 1998, akibat permintaan domestik yang menurun tajam, impor barang konsumsi dan ekspor migas mengalami penurunan masing-masing 34% dan 36% (Karmeli dan Fatimah, 2008).

Krisis ini menyebabkan kompleksitas permasalahan dalam hal pemulihan ekonomi. Keberadaan krisis multi dimensi ini pun seakan memutarbalikkan kesuksesan perekonomian Indonesia sepanjang hampir tiga dekade di pemerintah Orde Baru, sejak dicanangkannya Repelita Pertama pada tahun 1969.

Hal ini dimulai dengan dampak dari proses penularan, akibat dari tertekannya rupiah di pasar mata uang bersamaan dengan negara-negara tetangga, dimulai dengan depresiasi yang drastis dari bath Thailand. Namun dengan langkah kebijakan yang dilakukan dan dengan implikasinya, terjadi proses yang bersifat downward spiral dari proses penularan. 

Ketidakpercayaan terhadap rupiah menjalar menjadi ketidakpercayaan terhadap perbankan (adanya flights to quality dan flights to safety) yang menimbulkan krisis perbankan. Krisis ini sekaligus menjalar kepada nasabah dan memengaruhi secara negatif terhadap sektor riil. Sejumlah kebijakan pun tergopoh-gopoh mencoba diterbitkan namun krisis belum juga mereda, hingga akhirnya terpaksa meminta bantuan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia dengan melakukan utang luar negeri yang tidak kecil jumlahnya.

Kasus di Indonesia dapat menjadi gambaran bagaimana pemerintahan di dunia sekarang ini dituntut untuk lebih agresif merespon kondisi pasar ekonomi dalam negeri maupun dunia. 

Menganalisis kasus di Indonesia berbeda pula dengan kasus di Amerika Serikat, yang diakibatkan oleh adanya krisis yang dipicu permasalahan subprime mortgage pada tahun 2018 di sektor keuangan. Keterkaitan antara sektor keuangan dan sektor riil ini mengakibatkan biaya krisis menjadi tinggi dengan waktu pemulihan yang tidak singkat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline