Lihat ke Halaman Asli

Rifky Bagas Nugrahanto

Pegawai Negeri Sipil

Memaknai Hari Setelah Idul Fitri

Diperbarui: 9 Juni 2019   09:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: radarbekasi.id

Sesaat mudik membawa kita untuk menggapai kehangatan keluarga yang lama kita rindukan. Bertemu sanak-saudara yang lama tak berjumpa maupun sekedar menemani lebih lama kedua orang tua yang lanjut usia adalah momen-momen yang sangat dinantikan.

Apalagi yang sudah berkeluarga, dengan adanya momen lebaran ini, keintiman keluarga diharapkan semakin terjaga. Hubungan silaturahim yang terputus diharapkan dapat terjalin kembali, dan bahkan yang sudah kuat menjadi semakin erat seperti keluarga.

Namun setelah lebaran selesai apakah makna yang dapat diambil dari segala upaya menahan nafsu selama sebulan? Apakah bulan Ramadan yang diakhiri dengan Idul Fitri menjadi sarana memupuk diri lebih baik lagi?

Sebenarnya sangat beruntung untuk tinggal di negara Indonesia dalam merayakan Idul Fitri ini. Mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) dan juga cuti bersama yang cukup lama, mengisyaratkan bahwa berada di negara yang mayoritas muslim, segala kebutuhan peribadatan sangat terpenuhi. 

Bukan hanya untuk warga muslim, masyarakat non muslim pastinya mendapatkan perlakukan yang sama. Setiap hak-hak warga negara dijamin dengan baik, dengan batasan-batasan tertentu yang ditentukan dalam Peraturan Perundang-Undangan.

Sesaat kita harusnya bisa paham, bahwa kurang lebih sebulan menahan diri dari rasa ego, emosi diri, serta hawa nafsu yang lain, mengajarkan manusia untuk bisa lebih bersabar dan bertindak seperti manusia sesuai kodratnya. Tatkala emosi kita dikekang bukan berarti kita terpencara melainkan dibatasi agar tidak bertindak yang melampaui batas.

QS Al-A'raf ayat 179 yang berbunyi;

{:179}

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

Terkadang kita lalai dan mudah lupa, itulah sifat dasar manusia namun bagi yang bisa menjadi manusia yang sesuai perintah-Nya, mengartikan manusia tersebut sudah menjadi sosok makhluk yang mulia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline