Lihat ke Halaman Asli

Ridhwan EY Kulainiy

Hidup untuk berpengetahuan, bukan berdiam diri dalam ketidaktahuan oranglain

Menggugat Pemerintah dan Pertamina : Saat Empati Tak Terlihat, Yang Tersisa Hanya Monopoli

Diperbarui: 23 September 2025   23:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya menghela napas sejenak setelah mengkalkulasi jarak tempuh. Lampu indikator bensin di spidometer motor terus berkedip. "Jarak ke SPBU Vivo 16 kilometer, bensin ini masih cukup," gumam saya. "Ada Shell di sepanjang jalan, tapi saya enggak yakin stoknya ada."

Saya menaikkan standar motor dan bersiap melanjutkan perjalanan. Sejak 2019, saya sudah memutuskan untuk beralih ke Shell, jauh sebelum ramainya kasus Pertamax oplosan yang terjadi setahun lalu.

Hampir empat bulan belakangan, saya mengamati peningkatan antrean yang signifikan di SPBU swasta. Sesekali, saat sedang mengisi bahan bakar, saya iseng bertanya ke petugas. "Kadang jadi bingung bagi waktu istirahatnya, Pak!" ungkap salah satunya. Jawaban itu sudah cukup mengindikasikan bahwa jumlah konsumen yang datang ke SPBU swasta memang meningkat.

Sebagai pelanggan setia SPBU swasta sejak 2019, saya sendiri merasakan perubahannya. Dulu, antrean bisa dibilang "isi, bayar, langsung jalan" (siyargo). Sekarang, saya harus antre, bahkan terkadang sampai ke pinggir jalan depan SPBU.

Kekecewaan yang Berakumulasi

Kekecewaan adalah alasan utama mengapa banyak orang beralih ke SPBU swasta. Ini adalah akumulasi dari berbagai kasus yang menimpa Pertamina. Mulai dari skandal PT Petral yang menyebabkan kerugian inefisiensi sekitar US$800 juta per tahun hingga 2015, kerugian Pertamina di tahun 2020-2023, kasus Pertamax oplosan, sampai skandal mafia migas yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp285 triliun. Banyak sekali kasus yang ingin saya sebutkan, tapi intinya, semuanya berujung pada satu hal: hilangnya kepercayaan.

Yang paling menyakitkan tentu saja kasus mafia migas dan Pertamax oplosan. Bayangkan, seorang pemilik mobil BMW seharga miliaran rupiah mengisi Pertamax, tapi ternyata bensin itu oplosan. Saya saja, yang hanya mengendarai motor PCX seharga 40 jutaan, merasa sakit hati. Tujuan saya membeli Pertamax adalah untuk menjaga mesin dan memperpanjang usia motor. Ternyata malah mendapat Pertamax oplosan yang justru merusak mesin dan membuat umur motor lebih pendek.

Bagi saya, uang 40 juta itu bukan jumlah yang sedikit. Butuh waktu dua tahun mencicil untuk melunasi motor tersebut.

Laporan dan tuntutan konsumen yang dicatat oleh LBH Jakarta dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) juga menunjukkan hal serupa. Berdasarkan data mereka, 86,43% konsumen mengaku rugi secara ekonomi karena membayar mahal untuk kualitas rendah. Selain itu, 55,25% mengalami kerusakan pada kendaraan, dengan sebagian besar (45,5%) harus mengeluarkan biaya perbaikan antara Rp1 juta hingga Rp5 juta. Total kerugian masyarakat akibat pengoplosan ini diperkirakan mencapai Rp47,6 miliar per hari.

Pindah ke SPBU Swasta adalah Jalan Terbaik

Inilah puncak kekesalan masyarakat. Mereka sudah menempuh jalur hukum dengan melapor dan menuntut melalui BPKN dan LBH. Namun, hingga tulisan ini dibuat, saya belum menemukan penyelesaian pasti mengenai tuntutan tersebut, terutama terkait ganti rugi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline