Lihat ke Halaman Asli

YUSRIANA SIREGAR PAHU

TERVERIFIKASI

GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

4 Sarjana, 1 SMA, dari Bertani di Tanah Warisan Kakek Nenek untuk Ayah

Diperbarui: 25 Juni 2022   07:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jaga Stok Pangan: Foto doc. Kominfo.Jatimprov.go.id

Sawah itu terletak di Sibodak Dokek. Dulunya 2 petak dengan luas 7 lungguk. Jangan tanya saya teman, 2 lunggung itu berapa meter per seginya. Sungguh saya tak mengerti. Matematika itu susah bagi saya anak kampung ini karena waktu SD guru kami mungkin lupa memaksa kami menghafal perkalian 1-10.

Apa mungkin saya cabut waktu guru menyuruh menghafal kali-kali itu? Rasanya tidak. Waktu SD kami belum mengenal istilah cabut. Permisi saja takut bila kebelet pipis apalagi cabut. Rasanya gak pernah cabut.

Tiap pulang sekolah kami bertiga adik kakak pergi ke sawah untuk menjemput kunci rumah, makan siang, dan mandi-mandi di sungai. Sungainya bersih belum terkontaminasi sampah apa lagi limbah.

Batu-batunya berwarna hitam. Eksotik tertimpa sinar matahari. Begitu teduh di bawahnya karena pohon kuini yang berdaun lebat. Eh kuini atau mangga? Lupa saya.

Sesekali ayah memasang lukah sejenis penangkap ikan dari bambu. Susah menjelaskannya berapa ukuran panjang kali lebarnya karena saya lagi-lagi tak paham matematika.

Yang jelas ujung-ujungnya ada lubang. Konon dari situlah ikan tersesat masuk ke dalam lukah. Tersesat memang merugikan kita. Contohnya mujahir, ikan mas, tikkalang, dan ruting itu. Mereka terperangkap.

Ikan itu dibersihkan oleh umak dengan telaten. Hingga berubah warna permukaan ikan-ikan itu menjadi keputihan. Apalagi sudah diberi perasan jeruk nipis dan sedikit garam.

Jeruk nipis itu tumbuh subur di samping sopo. (Pondok sawah) dan berbuah lebat. Kami suka menjadikan jeruk nipis ini sebagai cemilan di sawah. Jeruk nipis dibelah dua. Diberi cabe giling dan sedikit garam lalu kami cucuk-cucuk pakai lidi dan lidi itulah yang kami hisap.

Rasa asam, asin, dan pedaslah sensasi memakannya. Itulah snack kami menyetarai bakso tusuk si tukang bakso di depan sekolah si dedek. Meski masam, asin, dan pedas tetap nikmat kala itu. Hingga sekarang lidah saya tetap berair mengenang itu.

Ikan itupun dibungkus umak dengan daun pisang yang tumbuh subur di gadu sawah (gadu apa ya bahasa Indonesianya?) Pematang mungkin. Dengan rapi beliau bungkus. Seperti pepes zaman ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline