Lihat ke Halaman Asli

Kebudayaan Global: Humanisme atawa Barbarisme

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Globalisasi bukan saja benar-benar telah terwujud, tetapi bahkan telah siap membobol semua bendungan kebudayaan kita. Tak ada lagi sejengkal tanah di planet ini yang tak tertimpa banjir infomasi. Semuanya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah bola dunia yang kian menyempit. Negara-negara di dunia telah disulap menjadi hanya sekedar RT-RW dari sebuah dusun global (global village) yang dikepaladesai oleh satu-satunya negara super power Amerika Serikat.

Globalisasi informasi telah menjadi bagian internal dari kehidupan kita. Telah menjadi ukuran maju dan tidak majunya suatu komunitas. Telah menjadi mizan modern dan tidak moderennya seseorang. Darah daging kebudayaan kita telah dibentuk olehnya.

Instrumen-instrumen peradaban kita ditata olehnya. Kebudayaan global bahkan telah merenda visi kita terhadap realitas dunia, alam, manusia, sejarah, dan masyarakat. Alhasil, dasar untuk menilai benar-salah dan baik-buruknya suatu subjek pun telah dicampurtanganinya.

Masalahnya kini, apakah kebudayaan global semacam itu identik dengan sebuah mesin raksasa yang tak tertandingi? Apakah di dalam dirinya tersimpan kekuatan misterius yang memungkinkannya survive (tetap hidup) terus menerus? Sudah sedemikian berkuasakah sehingga tak ada lagi suatu komunitas tertentu yang bisa menawarkan kebudayaan alternatif? Ataukah manusia memang kini sudah kehabisan stock budaya selain liberalisme dan demokrasi? Lalu bagaimana dengan Islam?!

SENTRALISME KEBUDAYAAN

Konsisten dengan pengertian “global”, maka kebudayaan yang merambat lewat arus ini sifatnya mendunia. Apa yang terjadi di suatu tempat tertentu dengan serta merta menjadi pengetahuan umum di seluruh penjuru dunia. Model rambut yang sedang trendy di Seatle atau di Paris dengan secepat kilat merambahi pelosok-pelosok bumi. Gaya hidup dan pola konsumsi ala Hollywood dengan segera menjadi selera mondial (mendunia), yang kalau seseorang tidak mengikutinya seakan tidak absah untuk disebut up to date. Kebudayaan di sini sontak menjadi komoditi masal. Individu kehilangan otoritasnya.

Apakah setiap kebudayaan berhak untuk meng-global? Kendati secara istilah seharusnya memang begitu. Tetapi karena variabel utama dari globalisasi adalah kecanggihan alat transportasi dan teknologi komunikasi, maka praktis yang berpeluang memasuki arus itu hanya kebudayaan dari negara yang memiliki kemampuan dan akses teknologi seperti itu. Maka selain ketujuh negara industri maju (terkhusus Amerika Serikat) menurut teori ini, kesulitan (kalau tak dibilang tak punya) akses untuk meng-globalisasikan kebudayaannya. Pada tataran ini, globalisasi lantas berubah menjadi sentralisme (pemusatan kebudayaan), yakni keyakinan bahwa kebudayaan yang "unggul" terpusat pada suatu negara tertentu. Bangsa lain, kalau mau maju --atau lebih tepat, kalau mau survive- harus mengadopsi kebudayaan mereka.

Sentralisme kebudayaan seperti ini akan menemukan bentuknya yang paling despotis (zholim) dan represif (menindas) setelah bersekongkol dengan lembaga-lembaga internasional. Diposisikan vis-a-vis dengan negara lain, maka sentralisme ini dengan segera berubah bentuk menjadi imperialisme kebudayaan.

Di titik ini, agar Barat dan Amerika tetap tampil dengan wajah humanisme (kemanusiaan), maka seluruh kata yang mereka gunakan mengalami eufemisme (penghalusan bahasa). Kata-kata demokrasi, liberasi, hak asasi, dan konservasi lingkungan pada hakekatnya hanya mewakili satu makna saja: mempertahankan status quo kebudayaan sekuler Barat. Di sini nampak jelas bahwa imperialisme dipersiapkan oleh kolonialisme bahasa. Maka istilah-istilah sekulerisme, modernisme, dan sainstisme tidaklah secara mandiri mewakili makna kata itu sendiri, melainkan telah menjadi missionaris-kata yang membawa pesan seluruh tetek bengek kebudayaan Barat sekarang.

KEBUDAYAAN POSITIVISME

Seluruh rangkaian sistem yang membentuk bingkai kebudayaan Barat dewasa ini bermula ketika sains melepaskan diri dari ikatan-ikatan primordialnya (yang suci). Tuhan, yang merupakan Ultimate Reality (Realitas Tertinggi), dikeluarkan dari wilayah sains. Suatu subjek hanya akan diakui validitasnya oleh sains jika subjek tersebut patuh kepada kerangka berpikir logis, dugaan dan pembuktian (nafas generalisir asli kaum modernis yang cenderung congkak). Di luar itu, hanya dianggap mitos belaka yang diciptakan sendiri oleh khayalan manusia akibat ketidakmampuannya menguasai fenomena-fenomena alam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline