Lihat ke Halaman Asli

Rendy Artha Luvian

TERVERIFIKASI

Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Catatan Abdi Dalem (Bagian 27) - Catatan Perjalanan Lima

Diperbarui: 9 April 2024   12:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: editan penulis sendiri dari bahan di freepik.com

Satu hal yang belum dibahas ketika berkunjung ke Malaka, tentu saja, Teknologi! Tempat ini memiliki teknologi-teknologi yang cukup unik, meskipun menurut kami Mataram dan Parahiyangan tidak kalah, hanya memiliki kekhasan yang sedikit berbeda. Pertama, ketika berada di kapal pengangkut domba yang berangkat dari Nusa. Sistem pendingin ruangannya sangat luar biasa, tidak memerlukan energi yang besar dan hanya memanfaatkan bentuk jendela yang telah dimodifikasi.  

sistem pendingin, Ilustrasi: penulis

Kedua, sistem angkutan umum yang berbeda yakni menggunakan lembu. Hampir setiap saat lalu lalang dan sangat ramai di pagi, siang, dan sore hari menjelang magrib. Memiliki jenis yang berbeda-beda, bergantung bentuk dan coraknya. Ada yang tidak memakai atap, ada yang hanya memanfaatkan penutup sederhana, ada yang ditarik dengan dua ekor atau lebih lembu, dan ada yang dihiasi dengan corak kraton. Semuanya disesuaikan dengan jenis penumpang dan tentu saja sangat mempengaruhi harga sewanya. Sayang, di sini hanya sekali dapat mencobanya, untungnya kami menaiki salah satu yang paling mewah ketika menuju Kraton Malaka.

Bullock Cart, Ilustrasi: penulis

 

Ketiga, ketika berada di Sarawak. Barulah kami sadar pengembangan teknologi Malaka berada di tempat yang terpisah dari ibu kotanya yang sibuk. Di sini kami belajar banyak dari kompetisi dan lomba yang diadakan universitas setempat. Aku sendiri akhirnya menemukan hal yang kuimpikan selama ini, yakni alat yang bisa membawaku terbang ke angkasa. Sementara itu Dalem berhasil menjadi juara ketiga kompetisi SATRIA, yang menurutku benar-benar membuktikan dugaan selama ini bahwa dia memang sekelas para prajurit Mataram. 

Penduduk yang tinggal di Sarawak amat beraneka ragam, ada yang datang dari Nusantara, bahkan yang mengajariku untuk berparalayang berasal dari Mataram. Untunglah, sehingga tidak susah untuk membeli satu set perlengkapan terbang itu, yang ternyata harganya sekitar 20 dinar.

Paralayang, Ilustrasi: penulis

 

Masyarakat aslinya sendiri hidup berdampingan dengan alam, mereka menjadi sasaran dakwah umat Islam dan Nasrani. Kata Imam Hassan itu menjadi tantangan tersendiri, tidak ada paksaan dalam agama dan mereka toh juga tidak berbuat kerusakan. Yang tidak boleh adalah mempermainkan agama dan hak pertama berada pada kedua orang tua untuk mengajarkan anak-anaknya tentang agama. Oleh karena itu amat sangat wajar jika ada orang tua yang marah jika anaknya jauh dari tuntunan Islam. Bismillah, semoga saja banyak diantara mereka yang nantinya memeluk agama Islam. 

Oh, iya, masyarakat di sini sangat menyukai layang-layang, mereka menamakannya dengan 'Wau Bulan'.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline