Lihat ke Halaman Asli

Membuka (Kembali) Kasus Pajak BCA

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menemukan kembali sebuah tulisan menarik terkait kasus ajak BCA yang ditulis Sunarsip M.E., Ak di halaman 1 Koran Republika pada Kamis, 24 April 2014. Sunarsip adalah Ekonom KepalaThe Indonesia Economic Intelligence (IEI).

Sunarsip pernah menjabat beberapa jabatan penting di birokrasi seperti Tenaga Ahli Bidang Riset dan Kebijakan. Kemudian, pada Mei 2005, Pemerintah melalui Kementerian Negara BUMN, menunjuknya sebagai Komisaris PT Bank BRI Tbk sebagai wakil Pemerintah.

Yang membuat saya tertarik dengan tulisan Sunarsip adalah kesamaan pendapatnya dengan Prianto Budi Saptono bahwa persoalan kasus pajak BCA tidak lain adalah PERSELISIHAN atau SENGKETA antara Ditjen Pajak dan BCA cq konsultan pajak BCA.

Judul tulisan di atas adalah jiplakan dari judul tulisan Sunarsip di harian Republika. Simak tulisan utuh dari Sunarsip sebagai berikut:

Senin lalu (21 April), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang terkait permohonan keberatan pajak atas non performance loan (NPL) senilai Rp5,7 triliun yang diajukan Bank BCA pada 1999. Kasus ini memang cukup pelik, karena melibatkan interpretasi teknis terkait dengan ketentuan perpajakan. Di samping itu, kasus ini juga memerlukan pemahaman yang sifatnya kontekstual terkait dengan regulasi yang berlaku pada saat kasus pajak ini terjadi.

Tulisan ini tidak ditujukan untuk membahas delik pidana korupsi dari kasus pajak BCA tersebut, namun lebih untuk memetakan dinamika yang terjadi pada saat kasus ini muncul.

***

Seperti kita ketahui, krisis ekonomi 1997/98, telah menyebabkan sejumlah bank mengalami gangguan kesehatan yang parah. Bahkan, beberapa bank terpaksa dilikuidasi karena dinilai sudah tidak mungkin bisa diselamatkan lagi. Sementara itu, sebagian bank-bank besar termasuk BCA, karena dianggap memiliki dampak sistemik bila tidak diselamatkan, maka terhadap kelompok bank ini pemerintah lalu mengambil alih kepemilikannya menjadi bank pemerintah atau sebagai Bank Taken Over (BTO) untuk disehatkan kembali.

Dalam rangka program penyehatan perbankan tersebut, pemerintah lalu membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melalui Peraturan Pemerintah No. 17/1999 tanggal 27 Februari 1999. BPPN inilah yang mengambil alih pengelolaan bank-bank BTO. Konsep dasar penyehatan terhadap BTO adalah BPPN mengambil alih seluruh aset kredit BTO yang bermasalah (NPL) berikut jaminannya.

Tujuan pengambilalihan aset NPL ini adalah agar secara akuntansi laporan keuangan bank menjadi sehat kembali dan bank BTO terkait bisa lebih fokus dalam menjalankan bisnis secara normal karena tidak diganggu lagi oleh aktivitas untuk menyehatkan kembali aset NPL-nya (recovery asset). BPPN-lah yang kemudian memiliki tanggung jawab dalam memulihkan kembali aset NPL tersebut, baik melalui restrukturisasi maupun penjualan aset NPL berikut jaminannya.

Meski secara akuntansi laporan keuangan bank menjadi sehat kembali, namun aset bank BTO terkait menjadi berkurang sebagai akibat dari pengambilalihan aset NPL oleh BPPN. Karena telah mengambil alih aset milik bank BTO, maka BPPN harus menggantinya dengan aset yang nilainya setara. Pemerintah lantas menerbitkan obligasi rekapitalisasi sebagai “ganti rugi” atas aset NPL yang telah ditransfer (asset transfer kit) ke BPPN. Dalam kasus BCA, akibat kebijakan rekapitalisasi ini, BPPN kemudian menjadi pemilik sekitar 92,8 persen atas saham BCA. Nilai obligasi rekap yang diinjeksikan ke bank-bank yang berada dalam penyehatan BPPN sekitar Rp430 triliun, untuk menggantikan aset NPL yang diambil alih BPPN sekitar Rp553 triliun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline