Lihat ke Halaman Asli

Bertengkar atau Dipertengkarkan?

Diperbarui: 21 Oktober 2017   05:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Betapa nikmatnya bertengkar. Hingga rasanya hidup jadi begitu hampa dan tak berarti jika sedetik saja melewatkan pertengkaran. Dan saking demennya mereka bertengkar, mereka tidak pernah kehabisan bahan dan tema (bahkan kata) untuk dipertengkarkan. Bahkan satu tema belum tuntas dipertengkarkan sudah muncul beberapa tema atau sub-tema atau kata, yang juga menarik dan sayang kalau tidak dipertengkarkan.

Bicaralah, maka setiap kata yang keluar dari mulutmu bisa menjadi bahan pertengkaran. Ya, kata-perkata. Ini semakin lucu --kalau tidak boleh dikatakan memuakkan. Maka satu kata saja, semisal : khilafah, makar, pribumi, reklamasi, atau esemka, itu sudah cukup sebagai bahan pertengkaran berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Bahkan mereka tidak perlu tahu dengan siapa mereka bertengkar. Dan arena pertengkaran yang mereka pilih adalah di dunia yang tidak nyata yang siapapun bisa menjadi apapun.

Hari ini Indonesia terbelah jadi dua kubu dan menjadi ajang pertengkaran para seteru, tanpa ada kesadaran untuk bersatu dengan bersama-sama merumuskan titik temu. Dan sepertinya memang diupayakan untuk tidak bersatu dan harus tetap berseteru. Seperti kisah Musa, yang atas perkenan Allah dapat membelah lautan. Kini lautan itu telah terbelah dan "sang nabi" telah melenggang di seberang. Tetapi ia lupa memukulkan kembali tongkatnya ke lautan sehingga lautan tetap terbelah jadi dua bagian.

Saya punya dugaan lain, jangan-jangan sebenarnya ia tidak lupa, ia sudah memukul-mukulkan tongkatnya di laut agar laut kembali seperti sediakala. Tidak seperti saat mau menyeberang, begitu sekali pukul, laut terbelah. Kini setelah diseberang, berkali-kali ia pukulkan tongkatnya, tapi tak mengubah apapun, hanya kecipak-kecipuk tapi laut tetap terbelah, hingga putus harapan. Lalu ia persalahkan tongkatnya. Padahal tongkat itu sama sekali tidak sakti, itu hanya sebatang kayu, kuasa dan perkenan Allah-lah yang menjadikan laut terbelah. Mungkinkah Allah telah menarik kembali "mukjizat-Nya"?

Jika mukjizat telah ditarik, jangan-jangan ia kini bukan lagi "sang nabi". Dalam terminologi kepemimpinan, salah satu indikator pemimpin yang berhasil adalah kemampuannya menyatukan kekuatan-kekuatan (unifying forces). Yang bisa ngemong. Punya jiwa gembala di dirinya. Bukan yang suka berkelit dan melemparkan masalah-masalah. Bukan yang suka klaim prestasi tapi sesungguhnya hanya meneruskan saja.

Maka jika pertengkaran ini tidak mereda, jika mereka semakin asik bertengkar hingga lupa bekerja, lupa belanja dan memasak buat keluarga, lupa menyapa tetangga, dan justru semakin tinggi eskalasi pertengkaran antara kubu satu dengan lainnya, maka cukuplah ini sebagai salah-satu bukti nyata gagalnya sebuah kepemimpinan, yang seharusnya dapat mendamaikan dan mempersatu-eratkan satu sama lain. Saya bahkan sempat berpikir kalau ini didiamkan bisa jadi akan ada revolusi, chaos, benturan secara fisik, antara dua kubu yang sejatinya ya saudara sendiri. Tapi setelah saya hitung-hitung, itu tidak mungkin terjadi. Lha wong mereka beraninya cuma di medsos. Cemen!

Saya awalnya terhibur oleh pertengkaran mereka, saya tertawa-tawa membaca dan mendengar pertengkaran mereka. Tidak hanya itu, saya sempat kagum dengan kemampuan retorika dan daya imajinasi mereka, sehingga mereka sama-sama tidak pernah kehabisan jurus untuk saling menyerang dan menjatuhkan. Tapi lama-lama muak juga. Saya seperti lihat sinetron yang tidak selesai-selesai. Berbelit-belit dan bertele-tele. Hingga pada akhirnya saya matikan tivinya dan saya haramkan sinetron untuk saya tonton.

Yang saya herankan kok mereka punya daya tahan yang sedemikian besar untuk bertengkar, begitu asik dan menikmati pertengkaran. Saya jadi berpikir, jangan-jangan sebenarnya mereka tidak sedang bertengkar, tapi dipertengkarkan. Ada yang diuntungkan --baik secara finansial maupun secara politis---dari pertengkaran ini. Sehingga memang sengaja didisain, disetting dan direncanakan pertengkaran-pertengkaran ini sedemikian rupa, sedang yang bertengkar tidak menyadari bahwa mereka hanya diperalat tanpa mendapat keuntungan apapun dari pertengkarannya.

Tidak perlu "nabi baru" untuk menghentikan perseteruan ini jika masing-masing punya kedasaran untuk bersama-sama mencari titik temu. Jika masing-masing punya kesadaran, bahwa Indonesia tidak akan maju dengan pertengkaran. Jika setiap kubu sama-sama serius untuk mencintai Indonesia. Jika masing-masing punya kesadaran yang sama bahwa kemajuan peradaban dan kemuliaan bangsa hanya bisa dicapai dengan bekerja bersama-sama, guyub-rukun dalam kebhinekaan, dan bukan dengan mempertengkarkan perbedaan. Tapi saya agak pesimis dengan itu semua, karena kita telah kehilangan --apa yang disebut--- kearifan dan kebijaksanaan. [RA]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline