Lihat ke Halaman Asli

Prayogo Kusumaryoko

Semua tentang tulis-menulis, diklat guru, penerjemahan, bahasa asing, musik, dan IT,

Menjadi Guru Transformatif di Era Disruptif

Diperbarui: 1 Februari 2022   21:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

MENJADI GURU TRANSFORMATIF DI ERA DISRUPTIF

A. Lompatan Besar itu Bernama Revolusi Industri 4.0

Sejarah peradaban modern mengenal 4 macam lompatan kuantum (quantum leap) yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Revolusi Industri (selanjutnya disingkat RI), dari RI 1.0  di kurun waktu 1760-1850 hingga RI 4.0 di milenium kedua ini. Bila RI 1.0 dicirikan oleh penggunaan mesin uap dan mekanisasi produksi, RI 4.0 ditandai dengan meningkatnya digitalisasi manufaktur. RI 4.0 dipicu empat faktor, yaitu: 1) meningkatnya volume data, daya komputasi, dan konektivitas, 2) munculnya analisis, kapabilitas, dan kecerdasan bisnis, 3) terjadinya bentuk interaksi baru antara manusia dan mesin, dan 4) perbaikan dalam instruksi transfer digital ke dunia fisik, seperti robotika dan pencetakan 3D. Pada prinsipnya, RI 4.0 merupakan integrasi mesin, alur kerja, dan sistem dengan mengimplementasikan jaringan cerdas yang saling mengontrol secara mandiri (Darma et al., 2020).

Tak dapat disangkal bahwa RI 4.0 menghadirkan banyak kemajuan positif bagi kehidupan umat manusia. Namun, cepatnya perubahan tersebut juga berpotensi menimbulkan disrupsi. Secara harfiah disrupsi dimaknai sebagai gangguan atau kekacauan. Dalam dunia bisnis, disrupsi dipahami sebagai situasi ketika teknologi dan masyarakat berkembang jauh lebih cepat daripada kemampuan para pengusaha mengantisipasinya. Akibatnya, banyak perusahaan-perusahaan besar sekelas Nokia, Kodak, Blockbuster, taksi Blue Bird, dan maskapai Garuda Indonesia mengalami kebangkrutan. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan baru bermunculan seperti Grab, Gojek, Netflix, Bukalapak, Tokopedia, Aliexpress, dan perusahaan-perusahaan lain dengan basis utama teknologi. Perusahaan-perusahaan startup itu mengawali bisnis dengan menggali ide, melakukan riset atau eksperimen, melakukan proses pembuatan, dan mengembangkan model bisnis. Para pendatang baru tersebut mengembangkan usahanya pada titik pasar terbawah yang diabaikan penguasa pasar sebelumnya. Lalu perlahan-lahan mereka menggerus ke atas, ke segmen yang sudah dikuasai perusahan-perusahaan besar (Christensen, 1997). Disrupsi menjadi hal yang sulit diatasi karena banyak pemimpin perusahaan dan pembuat kebijakan tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Banyak perusahaan besar mengalami kebangkrutan meskipun telah menerapkan langkah-langkah sistematis manajerial modern, prinsip-prinsip strong brand dan inovasi, marketing, R & D, Total Quality Control, dan agile management (Iskandar, 2017).

B. Tantangan Pendidikan di Era Disruptif

Dunia pendidikan tidak terlepas dari pengaruh RI 4.0. Bagaimana bentuk-bentuk pengaruhnya? Menurut Lubis (2019), tantangan pendidikan Indonesia di era disrupsi ada 3, yaitu kurikulum, pembelajaran, dan penilaian. UU Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan yang berkaitan dengan tujuan, isi, bahan ajar, dan metode yang digunakan sebagai pedoman dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pertama, kurikulum harus selalu diadaptasikan dengan perkembangan jaman. Kurikulum pendidikan di Indonesia lazimnya mengalami perubahan setiap 10 tahun sekali. Setelah menerapkan Kurikulum 2013, pada saat ini sedang diujicobakan kurikulum prototipe pada sejumlah sekolah penggerak. Diharapkan pada tahun 2024 semua sekolah di Indonesia mulai menerapkan kurikulum baru. Kedua, pembelajaran tidak cukup hanya bersumber pada buku teks pelajaran. Guru harus berusaha menerapkan cara-cara kreatif dan inovatif dalam mengelola pembelajaran dengan menggunakan metode, media, dan sumber pembelajaran yang lebih beragam. Perubahan pembelajaran pada hakikatnya adalah perubahan mindset dan habituasi guru. Ketiga, penilaian pembelajaran harus mengukur kemajuan dan perubahan belajar peserta didik secara utuh, bukan hanya aspek kognitif.

Sebenarnya, pengaruh RI 4.0 di bidang pendidikan bukan hanya berkaitan dengan kurikulum, sumber belajar, atau asesmen pembelajaran. Aspek-aspek lain seperti kompetensi guru, karakteristik peserta didik, metode pembelajaran, sarana pendidikan, dan manajemen sekolah juga harus beradaptasi dengan lompatan kemajuan tersebut. Dalam hal kompetensi, misalnya, guru tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan yang telah dimilikinya sekarang tetapi ia  harus secara berkesinambungan melakukan pengembangan diri untuk memperoleh kompetensi baru. Guru-guru sekarang ini rata-rata merupakan generasi X yang lahir pada rentang waktu 1966-1976 dan generasi Y yang lahir antara tahun 1977-1994 (http://socialmarketing.org/archives/generations-xy-z-and-the-others/). Mereka harus mengajar peserta didik yang merupakan generasi Z (1995-2012) bahkan generasi Alpha yang lahir setelah tahun 2012. Tiap generasi memiliki karakteristik yang berbeda. Penting bagi guru untuk memahami karakteristik dan kebutuhan peserta didiknya yang berbeda-beda (pembelajaran berdiferensiasi) agar dapat menentukan strategi pembelajaran yang tepat.

C. Pendidikan 4.0

Perkembangan RI 4.0 memunculkan istilah Pendidikan 4.0 (Education 4.0). Pendidikan 4.0 merupakan respon terhadap kebutuhan RI 4.0 yang berusaha menyelaraskan manusia dan teknologi sehingga memunculkan kemungkinan-kemungkinan baru (Husin, 2018). Dalam Pendidikan 4.0 peserta didik tidak hanya mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan tetapi juga berusaha mengidentifikasi sumber keterampilan dan pengetahuan tersebut (Fisk, 2017). Ada sembilan kecenderungan dalam Pendidikan 4.0, yaitu: (1)  belajar dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja, baik melalui e-learning, flipped classroom maupun metode lainnya, (2) pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, misalnya ia akan diperkenalkan ke tugas yang lebih sulit hanya setelah mencapai tingkat ketuntasan tertentu, (3) peserta didik memiliki pilihan dalam menentukan bagaimana ia ingin belajar, (4) peserta didik semakin banyak dihadapkan pada pembelajaran berbasis proyek, (5) peserta didik lebih banyak dihadapkan pada pembelajaran langsung melalui pengalaman lapangan seperti magang, pendampingan proyek, dan proyek kolaboratif, (6) peserta didik akan dihadapkan pada interpretasi data dengan memintanya menerapkan pengetahuan teoretis tentang angka dan menggunakan keterampilan penalarannya untuk membuat kesimpulan berdasarkan logika dan tren dari sekumpulan data yang diberikan, (7) peserta didik akan dinilai secara berbeda dengan platform penilaian yang relevan, (8) pendapat peserta didik akan dipertimbangkan dalam mendesain dan memperbaharui kurikulum, dan (9) peserta didik akan menjadi lebih mandiri dalam pembelajaran sendiri, sehingga memaksa guru untuk mengambil peran baru sebagai fasilitator yang akan membimbing peserta didik dalam pembelajaran. Sembilan kecenderungan Pendidikan 4.0 itu menggeser tanggung jawab pembelajaran utama dari guru ke peserta didik.

D. Model Kompetensi Guru

Lalu kompetensi apa saja yang harus dimiliki guru transformatif di era disruptif? Dalam Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 kompetensi inti guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Selama kurang lebih 14 tahun regulasi tersebut menjadi acuan utama Kemendikbud dan UPT-UPT di bawahnya dalam merancang dan menyelenggarakan diklat peningkatan kompetensi guru. Mengakomodasi masuknya Profil Pelajar Pancasila sebagai pengganti Standar Kompetensi Lulusan (SKL), pada awal tahun 2020 regulasi tersebut diperbaharui dengan turunnya Perdirjen GTK Nomor 6565/B/GT/020.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline