Lihat ke Halaman Asli

UNBK, Antara Mutu dan Gengsi

Diperbarui: 22 Februari 2018   10:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) untuk jenjang SMP dan SMA / SMK yang saat ini tengah dipersiapkan di berbagai daerah mendapatkan respon cukup beragam dari masyarakat maupun praktisi pendidikan. Sebagian kalangan mengapresiasi langkah pemerintah dalam memaksimalkan pemanfaatan teknologi informasi di bidang pendidikan tersebut. Namun, tidak sedikit pula yang mempertanyakan efektivitas UNBK dalam upaya meningkatkan kualitas evaluasi hasil belajar siswa. Tak hanya itu, besarnya biaya yang harus dikeluarkan pun menjadi persoalan tersendiri yang dikeluhkan oleh banyak sekolah di berbagai daerah. Ujian dengan cara menumpang di sekolah lain pun seakan menjadi "tren" di kalangan sekolah yang memiliki keterbatasan dalam hal sarana tersebut.

Di lain pihak, persoalan mutu pendidikan menjadi pekerjaan rumah yang entah kapan dapat diselesaikan. Belum meratanya kompetensi serta kesejahteaan guru menjadi hambatan utama bagi bangsa ini untuk bangkit mengejar ketertinggalan dari bangsa - bangsa lainnya. Adapun persoalan infrastruktur pendukung serta ketiadaan cetak biru (blue print) yang jelas dan benar -- benar dapat dijadikan acuan seakan mewarnai perjalanan setiap rezim pemerintahan. Bonus demografi yang akan diterima oleh bangsa ini pun dikhawatirkan akan menjadi musibah daripada anugerah.

Di tengah sengitnya perdebatan tentang pentingnya pelaksanaan UNBK serta korelasinya terhadap peningkatan mutu pendidikan, para kepala daerah justru terlihat aktif mendorong sekolah -- sekolah yang ada di wilayahnya untuk menggelar UNBK. Dorongan yang tidak disertai dukungan finansial maupun sarana pendukung secara memadai tak jarang mengakibatkan sekolah harus menanggung derita akibat kepentingan penguasa. UNBK seakan dijadikan ajang adu gengsi oleh para kepala daerah yang lebih mementingkan kulit daripada isinya. Ironisnya, kuatnya dorongan untuk melaksanakan UNBK tersebut justru terjadi di  tengah menguatnya tuntutan kalangan pendidikan agar pemerintah mengembalikan mata pelajaran TIK yang dulu dihilangkan.

Adapun orangtua menjadi pihak yang turut dirugikan dengan adanya kebijakan pelaksanaan UNBK. Munculnya biaya yang dibebankan kepada orangtua untuk kepentingan UNBK mengakibatkan pengeluaran yang harus disipkan kian membengkak. Jargon "Pendidikan Untuk Semua" yang sering kali didengung-dengungkan oleh calon kepala daerah pun nampaknya tinggal isapan jempol belaka.

Dalam pandangan penulis, pemanfaatan teknologi informasi dalam bidang pendidikan merupakan sebuah keniscayaan. Namun demikian, pemanfaatan teknologi informasi tersebut hendaknya benar -- benar ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara signifikan, bukan semata -- mata adu gengsi. Adapun memaksimalkan pembelajaran berbasis multimedia merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa saat ini yang dikenal sebagai generasi digital. Selain itu mengembalikan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pun dapat menjadi langkah strategis untuk meningkatkan literasi digital di kalangan pelajar. Untuk itu dukungan kebijakan serta sarana dari pemerintah pusat dan daerah sangatlah diharapkan. (Dimuat di Koran Pikiran Rakyat Edisi 22 Februari 2018)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline