Lihat ke Halaman Asli

Rasa Tamak & Merasa Selalu Benar Menghancurkan Martabat Negeri

Diperbarui: 25 November 2015   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu hal yang sudah teramat rusak di negeri ini adalah perilaku banyak politikus, pemuka pendapat dan tokoh agama yang merekayasa informasi untuk melindungi kepentingan pribadi dan kelompok.

Terlebih banyak media massa, baik elektronik (televisi dan website) serta cetak berskala nasional yang dimiliki kaum tersebut untuk menjalankan kepentingan pribadi dan upaya membentuk opini palsu di masyarakat.                                  

Salah jadi benar, benar jadi salah, adalah makanan sehari-hari masyarakat negeri ini. Buat masyarakat yang berharap negeri ini maju dan punya harkat serta martabat, tentu acap kali geram. Tapi apa boleh buat, rasa geram itu hanya tersimpan dalam hati. Mata hukum sudah buta, palu sidang pun sudah tumpul dan rapuh. Wewenang sudah seperti barang jualan di etalase showroom, semuanya bisa terjual tergantung negosiasi atau tawar menawar...

Banyak kaum tersebut merasa seperti highlander, jika hidup adalah abadi. Tidak papalah menjadi kotor, toh, nanti bisa jadi penderma yang membagi ke banyak orang. Hasil kejahatan yang terbagi untuk mencari simpati.

Korupsi adalah hal yang biasa di antara para kaum itu. Korupsi, bahkan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan sudah seperti ombak di lautan, terus datang lalu menghilang. Sementara rakyat bak karang di tepi laut, terus dihantam ombak, menyaksikan kerasnya hantaman mereka di wajah negeri, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Bedanya karang di laut dan masyarakat negeri ini adalah akses komunikasi digital, dengan menggalang suara untuk melawan perilaku jahat di negeri ini. Setelah suara terkumpul dalam jumlah besar, tetap saja harus disalurkan. Kemana? Ke wajah-wajah jahat yang memegang kendali sistem di negeri ini.

Perduli setan apapun posisinya, badan pengawas pun judah menjadi eksekutor. Saat tercium langkah-langkah jahatnya, dengan piawai memainkan peran untuk mengaburkan jejak. Persis seperti gulungan ombak yang menghapus jejak di pasir pantai.

Adapula orang kepercayaan penguasa yang juga kelabakan, karena namanya terduga terkait konspirasi perilaku jahat. Lantas yang terbaru, pemuka organisasi masyarakat yang mengatasnamakan agama dan merasa dirinya selalu paling benar. Menginjak-injak budaya negeri adalah hal yang biasa, semuanya bisa digulung dan menghilang seperti jejak di pasir pantai.

Hidup di negeri ini memang harus kuat iman dan beribadah, supaya tidak ikut-ikutan jadi garong, atau malah jadi gila karena gegar otak ngikutin konspirasi kejahatan tingkat tinggi. Yang lebih parah, kalau sampai mati mendadak karena jantungan.

Ada satu kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk meredam kegalauan melihat situasi simpang siur negeri ini, yaitu ELING. Kata ini berarti “berpikiran sehat; bijaksana; pantas”, atau “ingat akan Tuhan Yang Maha Esa (dalam aliran kepercayaan)”.

ELING!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline